Sabtu, 25 April 2009

Rabu, 22 April 2009

Mengritik Jam Dinding

Masih berdetak detik demi detik. Suaranya bisa terbaca.
“Ini masih jam sebelas.”
“Benar, sekarang masih jam sebelas lantas kenapa ayam itu berkokok?”
Jam di dinding itu tak bisa lagi terbaca kecuali suaranya. Pekatnya gelaplah penyebabnya.
“Ini masih jam sebelas.”
“Iya aku tahu ini baru jam sebelas tapi, kenapa ayam-ayam itu berkokok duluan?”
“Ini masih jam sebelas lebih satu menit.”
“Jam edan.”
Bermula hanya satu yang berkokok kemudian satu lagi ayam jago berkokok nyaring, menyusul tidak jauh dari ayam pertama berkokok ayam lain.
“Ada apa ini, apa yang ada di dalam kepala ayam itu. Apa yang ingin ditunjukkan ayam itu. Pertanda apa?”
Bersautan ayam jago di seluruh kampung ini, seperti ingin unjuk gigi satu per satu ayam itu berkokok senyaring mereka mampu.
“Barangkali pertanda bahaya. Mungkin angin puting beliung seperti yang diberitakan banyak media. Atau mungkin sunami dari laut utara bakal menggibas kampung ini?”
Adil bergegas bangun, ditapakinya tangga kayu naik ke lantai dua. Dari jendela ditatapnya laut di sebelah utara.
“Tenang-tenang saja air laut itu. Sudah malam begini kok ya masih ada saja orang-orang yang sliwar-sliwer di pantai itu. Anak-anak muda sekarang memang tidak tahu aturan, tidak tahu waktu. Pacaran mencari tempat yang sepi, tempat yang gelap, malam-malam lagi, edan semua. Biar dihantam sunami mereka semua. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda akan terjadi sunami. Air laut itu hanya diam saja. Mungkin bukan sunami tapi, angin puting beliung.”
Ayam-ayam jago masih terus bersautan. Terdengar kokokan ayam jago dari ujung utara kampung itu. Kemudian ayam-ayam jago dari sisi timur kampung itu. Adil semakin cemas. Pindah tempat dia melihat sisi timur kampung itu. Semakin banyak ayam yang ikut berkokok semakin bingung Adil dengan fenomena itu.
“Tak ada apa-apa. Biasanya mereka berkokok saat matahari hendak terbit tapi jam segini kenapa sudah berkokok? Matahari jelas belum terbit kalau jam sebelas malam seperti ini. Ayam jago gendeng. Kalau tidak terbit dari timur mungkin terbit dari barat. Wah, kiamat.”
Berpindah lagi dia melihat ke arah barat.
“Tidak ada sinar dari barat kecuali sorot lampu mercusuar. Tidak ada apa-apa tapi ayam-ayam jago gendeng itu belum juga berhenti berkokok. Ah… ayam gendeng tetap saja ayam gendeng. Biar mereka sendiri yang gendeng,. Terserah kalian sajalah, daripada aku ketularan gendeng seperti kalian.”
“Ku..ku…ru…yuk…”
“Hoi…diam, ayam gendeng!” kalimat itu keluar begitu saja seketika dia terhentak oleh kokokan ayam di jarak sepuluh meter dari tempat dia berdiri.
“Terserah kalian mau ngendhog, mau berkokok aku tidak akan ikut-ikutan gendeng, aku mau tidur saja.” Mulut Adil mengumik-umik seperti membaca mantra sambil berjalan menuruni tangga. Dibaringkan lagi tubuhnya di atas pembaringannya. Masih heran dan terus menduga-duga kenapa ayam-ayam itu.
“Apa mungkin terjadi lagi cerita Candi Sewu atau cerita Sangkuriang di Zaman ini. Ayam-ayam gendeng itu suruhan Roro Jonggrang. Atau mungkin suruhan Dayang Sumbi. Mungkin memang terjadi lagi tapi bukan candi yang dibangun melainkan gedung pencakar langit seribu tingkat mungkin juga kapal pesiar bukannya perahu. Ah…, biar sajalah akal bulus mereka akan berbalik pada mereka juga. Kalaupun gedung pencakar langit yang dibuat Bandung Bondowosonya zaman modern ini. Paling-paling dia marah kemudian mengutuk Roro Jongrangnya zaman modern ini menjadi patung di depan gedung itu. Patung air mancur.” Adil mereka-reka sesekali menggaruk-garuk kepalanya.
Suara dua bilah kayu saling menghantam terdengar jelas. 
“Siapa malam-malam begini kurang kerjaan. Mungkin orang-orang kampung ini memukul lesung seperti perintah Roro Jongrang. Tapi ini kampung laut, tentu saja bukan kampung penghasil padi. Tidak ada gabah yang bisa mereka jadikan alasan untuk memukul lesung. Karena kampung laut mungkin bukan gabah tapi udang rebon yang mereka jadikan alasan memukul lesung itu. Lagi pula ini memang musim angin barat. Udang-udang rebon itu pasti berkeliaran di pinggir-pinggir laut. Tapi sekarang ini sudah tidak ada sama sekali yang masih memakai lesung untuk itu. Bukannya mereka sudah menggunakan mesin untuk untuk menggiling rebon itu. Mereka lebih memilih mesin yang walaupun suaranya bisa terdengar keras dari ujung kampung ke ujung lain dengan pertimbangan efisiensi waktu dan tenaga. Biarlah pasti mereka nantinya juga berhenti sendiri.”
“Ini masih jam sebelas lebih empat menit.”
“Hoi…diam kamu jam goblok, coba kamu dengarkan ayam-ayam itu satu persatu sudah berhenti berkokok, apa kamu tidak dengar itu? Ah…akhirnya capek juga mereka ayam-ayam jago gendeng itu. Tapi orang-orang sinting itu tidak ikut berhenti. Perlu dihajar mereka itu.” 
Bangun lagi Adil mencari sumber suara. Satu persatu kakinya menapaki tangga. Kepalanya melongok ke atas, gelap. Telinganya masih merasakan kerasnya suara orang memukulkan kayu. Semakin ke atas semakin jelas terdengar semakin keras. Dilihatnya pintu membuka dan menutup dengan sendirinya.
“Pasti kucing dan tikus-tikus sialan itu yang malam-malam begini bikin onar.” Dinyalakan lampu di lantai dua. “Rupanya angin sialan yang bermain-main dengan pintu ini. Kertas-kertas pun diobrak-abrik, angin sialan nyusahin orang saja.” Adil memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai menatanya kembali di atas meja kerjanya. Buku tebal ditindihkan di atasnya. Angin berhembus dari jendela yang tidak bisa tertutup rapat meniup kertas-kertas itu. Pintu kembali tertiup menghantam kusen menimbulkan suara keras.
“Nah sekarang sudah aman kalian catatan-catatanku tidak akan lagi diobrak-abrik angin sialan itu.”Dituruninya anak tangga satu persatu dalam kegelapan setelah mengunci pintu.
“Jam berapa sekarang?”
“Ini masih jam sebelas lebih lima belas menit.”
“Nah begitu kalau ditanya ya dijawab, kalau tidak ditanya ya…jangan bersuara. Berisik tahu kamu? Sudah, sekarang aku mau tidur, awas kalau berisik lagi aku lengserkan jabatanmu. Sebagai penunjuk waktu kamu itu tidak boleh berkhianat. Yang mengangkat kamu duduk di posisi itu kan aku juga. Posisi teratas di rumah ini diantara yang lain. Lihatlah foto itu aku pajang lebih rendah dari kamu, posisimu saat ini. Semestinya kamu sadar jangan malah seenaknya sendiri. Mentang-mentang menduduki posisi tertinggi. Kalau tugasmu menunjukkan waktu ya menunjukkan waktulah yang kamu harus jalankan. Sebagai penunjuk waktu kamu tetap harus mengatakan yang benar mesti akibatnya buruk bagi aku. Saat aku bangun kesiangan kemarin itu gara-gara siapa, ulah kamu juga kan?. Kamu tidak mengatakan yang sebenarnya sudah jam delapan kamu malah bilang “ini masih jam enam lebih lima menit”. Jadinya aku telat pergi ngantor. Jangan goblok aku bilang. Kalau disuruh berdetak ya kamu harus berdetak jangan mencari-cari alasan untuk membela diri. Tenaga baterainya tidak cukuplah, jarumnya terhambatlah, inilah, itulah. Terlalu banyak alasanmu itu terlalu banyak. Tidak berdetak menjalankan tugas malah mencari kesibukan mencari alasan. Jangan kuatir dengan tenaga baterai yang hampir habis atau sudah habis aku masih punya surplus anggaran untuk memenuhi kebutuhanmu agar kamu berdetak dengan baik. Lalu masalah jarum jam yang terhambat gara-gara jarum menit dan jarum detik bersinggungan seharusnya bisa kamu sendiri yang menyelesaikan. Cobalah berkoordinasi satu sama lain. Kalian itu satu tubuh kalau tidak berkoordinasi dengan baik dampaknya juga padaku juga dan kacaulah nanti hidupku. Jangan saling bersinggungan. Kalian itu punya beban dan tugas yang saling berkaitan. Harus saling dukung diantara kalian. Kalau dikritik ya jangan terus ngambek. Kamu harus siap dikritik apalagi saat tamuku datang terus ngoceh sama kamu. Dia itu kan tamu penting dan terhormat, jadi jangan dibohongi. Tamuku itu tidak bisa kamu bohongi, tahu kamu kenapa? Saya bilangin, tamuku itu punya teknologi yang lebih canggih dari kamu . kamu pun harus belajar dari dia. Malam itu waktu kamu aku kritik paginya kamu ngambek tidak mau berdetak lagi. Tapi saya popok dengan baterai yang baru kamu begairah lagi. Jangan begitu, usahakan tiap tenaga baterai terpakai sepenuhnya. Tapi wajarlah kamu memang doyan dipopok dengan baterai yang baru dan banyak tenaganya.”
“Ini masih jam sebelas lebih tiga puluh menit.”
“Nah…nah, baru dikritik sedikit saja sudah mengalihkan pembicaraan. Kalau dikritik seharusnya kamu bangga, bagaimana tidak? Itu berarti masih ada orang yang memperhatikan kamu mengawasi kinerjamu. Coba kalau tidak ada yang mengkritik pasti kamu merasa kurang diperhatikan dan kamu merasa kepopuleranmu sudah luntur. Lantas kamu mencari sensasi dan mencari perhatian biar orang-orang memujimu.kalau ingin dipuji ya jalankan tugasmu dengan sungguh-sungguh. Berkinerjalah yang bagus. Berdetaklah terus menerus meskipun tenaga bateraimu hampir habis. Tunjukkan kekuatanmu mampu mngatakan hal yang benar-benar benar. Jika memang kinerjamu bagus dan layak dipuji kami pun tidak segan-segan memujimu. 

“Apa aku bilang pagi ini kamu sekali lagi ngambek gara-gara tadi malam aku kritik. Aku sudah menduga dan antisipasi sudah kupersiapkan. Sekarang gantian aku yang memberitahu kamu, ini masih jam enam lebih dua puluh lima menit, jam edan, jam dinding gendeng, jam dinding kacau,.”
Ini masih jam lima lebih limabelas menit.”
“Salah, jam edan, salah kaprah, salah banget, exactly wrong. Jangan ngelantur, bangun hoi…bangun sudah siang! Tapi, lebih baik kamu memang tidak bangun saja, sudah kinerjanya tidak bener, nyedot banyak anggaran tenaga baterai juga. Sudah urus saja dirimu sendiri kalau tidak bisa melayani aku dan seluruh anggota rumah ini yang membutuhkan informasi waktu.”
Adil keluar dari rumah tangan kirinya menjinjing tas hitam, berjalan dia menuju halte bus. Dibelakangnya seseorang tidak cukup jauh memanggilnya.
“Hoi Adil Makmur…bareng, tunggu!”
“Kamu rupanya Gemah Ripah Loh Jinawi berangkat ngantor juga? Ngomong-ngomong tadi malam kamu dengar kokok ayam-ayam jago jam sebelas? Bukankah aneh baru jam sebelas sudah berkokok?”
“Aneh bagaimana, itu namanya disiplin. Ayam jago berkokok saja dibilang aneh. Kalau ayam jago mengaum baru heran boleh. Ini ayam jago berkokok heran, dibilang aneh, kamu yang aneh.” 
“Tapi mereka saling bersautan seolah menandakan sesuatu akan terjadi atau malah sudah terjadi.” Adil meyakinkan.
“Lalu sekarang ada apa, tidak ada apa-apa to? Yang ada cuma busku yang sudah datang, aku tinggal dulu.”
Diajak ngobrol malah pergi, wong edan.”
*** 
“Jam berapa sekarang?”
“Ini masih jam lima.”
“Benar, tidak bohong kali ini kamu tapi sayang kinerjamu tidak konstan. Kali ini tepat informasimu. Seharusnya seperti itu tiap kali aku menanyakan waktu kepadamu. Aku tahu sebenarnya tidak sungguh-sungguh kamu jalankan tugasmu. Ketepatan kali ini hanyalah upayamu agar tidak jadi aku lengserkan dari posisimu. Jangan kamu kira aku tidak tahu itu. Makanya aku sudah menyiapkan calon penggantimu. Kamu lihat yang sekarang aku pegang ini? Benar ini jam meja. Meskipun kedudukannya lebih rendah dari kamu kinerjanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia lebih bersahaja dalam berkinerja. Tahu diri kedudukannya yang lebih rendah menjadi cambuk kekonstanan kenerjanya. Jam berapa sekarang?”
“Ini masih jam lima lebih dua puluh lima menit.”
“Aku tidak bertanya kamu tapi dia.”
“Sekarang jam lima belas lebih dua puluh menit.”
“Kamu dengar itu, ketegasannya dan kewaspadaanya. Dia memakai kata ‘sekarang’ itu berarti kepastian dan kewaspadaan terhadap detik dan menit berikutnya. Tidak seperti kamu yang ‘ini masih jam segini’ itu berarti kamu kurang waspada terhadap menit, detik, dan jam berikutnya yang pasti datang. Kamu terlalu santai, nanti-nanti, dan menunda dengan kata santaimu ‘ini masih jam segini’. Pantas saja kinerjamu dipertanyakan dan nyatanya berantakan. Tidak sesuai jadwal dan tidak sesuai dengan yang telah kamu janjikan. Seharusnya bisa selesai lebih cepart dari waktu yang telah ditentukan, tapi dengan kata-katamu itu ‘ini masih jam segini’ semua jadi berantakan. Kacau. Awas kalau ngambek lagi tak buang kamu ke tempat rongsokan!”
“Ini masih jam sepuluh”
“Sekarang masih jam sepuluh.”

Di luar kamar seorang anak kecil mengetuk pintu. “Pa, Ma bangun!”
“Ini masih jam lima lebih tiga puluh dua menit.”
“Sekarang jam lima lebih tiga puluh dua menit.”
“Papa ga pergi ke kantor ini kan sudah jam setengah delapan.” Anak kecil itu mengingatkan.
“Kalian ini bagaimana? Kalian menduduki posisi itu aku yang memilih itu berarti kalian adalah yang terbaik. Tapi kinerja kalian buruk. Malah bersekongkol dan berkonspirasi menghancurkan aku pemilih kalian. Kamu jam meja sialan, sudah aku beri kepercayaan malah melengos. Kamu takut dengan jam dinding itu? Posisi kamu memang lebih rendah dari jam dinding itu bukan berarti moralmu juga tidak lebih baik dari jam dinding itu. Jika jam dinding edan itu baersalah kamu jangan menutupinya. Jangan kamu korbankan reputasimu untuk dia yang bersalah meskipun dia itu atasan kamu. Kemarin saat baru kupilih kamu tunjukkan ketegasanmu tapi kenapa sekarang malah luntur? Kamu juga jam dinding kalau kinerjamu tidak baik jangan mencari kambing hitam. Membawa-bawa dia yang posisinya lebih rendah. Jangan kamu gunakan posisimu untuk menutupi kesalahan kamu. Seharusnya kamu menjadi panutan bagi mereka yang ada di bawahmu. Kalau salah ya ngaku salah. Jangan salah ngaku-ngaku paling benar. Kalian sudah tidak bisa lagi diberikan kepercayaan. Kalian masih minta kesempatan sekali lagi. Tidak! Sekarang sudah bukan masa kalian lagi. Aku akan mengganti kalian dengan mereka yang berdedikasi pada reputasinya. Pada mereka yang mengatakan benar yang sebenarnya. Pada mereka yang mengatakan salah yang salah.”
.
read more..