Sabtu, 24 Oktober 2009

Mati Bukan Hukuman

Apa yang hendak kalian lakukan dengan peluru di dalam pistol itu?Kepalamu akan terisi dengan peluru-peluru ini sesaat lagi.Lalu apa yang kalian tunggu? Muntahkan saja peluru-peluru dari dalam pistol itu agar aku tidak terlalu lama menunggu ajal yang kata kalian sesaat lagi menjemputku! Rupanya kalian sengaja membiarkan malaikat maut menunggu aba-aba kalian.
Pun kalian tidak akan pernah bisa lari darinya.Terserah kami akan mengeksekusi kamu sekarang atau nanti. Meskipun sama saja sekarang atau nanti ajalmu telah pasti di tangan kami.Tentu saja seratus persen kematianku di tangan eksekutor seperti kalian tak bisa tertunda dengan tali yang mengikat tangan dan kakiku ini. Penutup mata pun telah kalian lingkarkan erat diantara dahi dan batang hidungku. Seharusnya kalian tidak berhak merampas hakku untuk melihat dunia ini terakhir kalinya.Hak yang kamu punya hanyalah diam. Selain itu tidak ada.Benar.Telah berapa nyawa kalian renggut?Cukupkah nyawa kalian sebagai pengg...?Sudah pukul 12 tepat. Segera lakukan eksekusi!
read more..

Sabtu, 12 September 2009

Peluhku Darahku

Kuusap peluhku dari basahnya dahi kepalaku. Kusingkirkan keringat dengan telapak tanganku. Merah. Terlihat menyeluruh di telapak tangan ini. Darah. Apa keringatku adalah darah? Kulihat cermin. Tidak sedikitpun goresan luka yang menyebabkan darah bisa mengucur. Tapi merah benar jidatku. Keringat inikah yang membawa darah? Atau darah adalah keringatku?
Aku pingsan. Atau bukan pingsan, koma. Atau mungkin, mati? Matikah aku? aku tidak bisa memastikian ini. Tapi gelap benar mata ini. Pekat menutupi pupil. Di sudut mana muncul titik putih. Ke sanalah aku berjalan. Bukan. Bukan berjalan tapi melayang, terbang. Tanpa sayap. Meskipun aku tidak sepenuhnya dapat menggerakkan diri. Aku begitu saja tersedot. Terseret cahaya putih itu yang kelihatan kecil dari pandanganku. Entah dengan kecepatan melebihi jet atau yang lebih cepat lagi, namun tidak juga sampai di sana. Cukup jauhkah itu atau aku yang lambat sangat?
Mulai terasa lelah mata ini. Tak bisa lagi kubuka. Sama sekali menutup.tapi cahaya itu masih ada. Belum hilang dari pandanganku.
“Untuk apa itu menyedotku?”
Berlari keadaan di sekitarku menjauhi tubuh tanpa daya ini. Cepat sekali aku tidak bisa mencegah mereka. Apalagi menghentikan lari mereka.
Tidak. Bukan mereka yang berlari. Aku melihat mereka diam ditempatnya. Rupanya aku yang dengan cepat melayang, tersedot cahaya itu. Aku yang berlari bukan mereka.
Tidak lagi tampak cahaya itu. Sekarang api ada di mana-mana. Merah panas api ini.
“Api ini yang menyedotku?”
Aku tidak bisa merasakan mereka. Lava cair meluap, mendidih. Di hadapanku. Aku tidak merasakan apapun. Aku hanya bisa melihatnya. Tapi tidak dengan mata terbuka karena masih sulit kubuka mata ini.
“Inikah penyebabnya?”
Semacam lem namun lem apa yang bisa seerat ini merapatkan kelopak mataku. Mungkin bukan lem apa tapi lem siapa. Masih menyala mereka.
read more..

Jumat, 21 Agustus 2009

Hujan Tahun Kemarin

Dari selatan turun ke utara mendung membawa kegelapan. Masih cerah langit di barat bumi. Namun tak berlangsung lama. Cerahnya hilang tergantikan gelapnya mendung. Kini tak terlihat lagi kecerahan terpampang di langit mana pun. Semua diagonal langit kini gelap. Sudut-sudut langit menjadi sesak penuh gelapnya mendung.Gelap langit barat melindungi bumi dari sengatan terik mentari. Setidaknya saat ini sudah tidak lagi terasa tercekik kerongkongan ini. Seharian tadi panas benar teriknya.Hembusan angin melenggang semaunya mengelilingiku. Kesejukan meresap dalam. Menyapa kerongkongan yang sebelumnya kepanasan. Aroma hujan mulai tercium dari hembusannya.Dengan kondisi langit yang seluruh sudutnya terbasuh mendung besar kemungkinan hujan akan turun tidak lama lagiRasanya kesejukan menggerayang nafas ini. Kusedot udara dengan aroma hujan di hidungku menuju paruku. Terbasuh aroma hujan rongga nafasku. Kenikmatan musim hujan benar-benar merasuk sangat dalam.Tik, tik, tik. Satu persatu mereka menetes. Tetesan demi tetesan saling menyusul. Turun dari langit membasuh bumi. Hujan datang. Dahaga hilang. Terlihat lagi mulai basah tanah di bumi ini. Dinikmatinya hilangnya dahaga tanah kering seharian ini. Air mulai mengalir di atas tanah. Cokelat air mengalir bersama sedikit buih sebagai perhiasannya.Segerombolan anak kecil keluar dari sarangnya. Mereka bermaksud membasahi diri di bawah guyuran hujan yang tentu saja gratis air itu. Dan pasti sudah sangat mereka tunggu turunnya hujan ini sejak munculnya mendung beberapa saat lalu.Terlihat asyik mereka menikmati hujan. Nikmatnya masa kanak-kanak yang mereka miliki. Bermain mereka menikmati hujan tanpa berpikir akibat apa yang akan mereka rasakan kemudian. Mereka pun sepertinya tak mau tahu dengan dinginnya air oleh balutan angin berhembus.Dengan memegang raket dua anak terlihat asyik bermain badminton. Di tengah guyuran hujan terus saja mereka melancarkan pukulannya menghantam kock. Mereka tak berpikir kock itu akan rusak oleh air.Tak jauh dari mereka segerombolan anak bermain bola. Dengan gawang dari batu, mereka menyebutnya gawang kecil. Dua gawang berhadapan namun cukup jauh.Sesekali permainan mereka terhenti oleh mobil yang melewati jalan di mana mereka bermain. Kemudian dilanjutkannya lagi permainan mereka sampai kemudian lewat lagi mobil lain di jalan itu dan terhenti kembali permainan merka.“ Ada sponsor lewat awas.” Celetuk salah satu dari mereka.Di sudut lain ada dua anak yang sepertinya sedang beradu mulut. Entah apa yang mereka perkarakan. Salah satu dari mereka duduk di atas sepeda. Dipukul anak yang duduk di atas sepeda itu. Tidak keras namun tidak dibalasnya pukulan itu. Mungkin dia takut atau diam untuk mendendam. Rupanya nyalinya tak cukup besar untuk menggelar duel itu. Setelah memukul anak tadi berlari menuju dua anak lain yang sedang bermain badminton. Direbutnya salah satu raket anak-anak itu. Berhasil dia dapatkan dan bermainlah dia dengan anak satunya. Setelah raketnya direbut dia hanya terdiam melihat mereka bermain. Mungkin di pikirnya berharap diserahkan kembali raket kepadanya. Namun hanya sebatas harapan dan masih terdiam anak itu.Tak lama permainan berlangsung. Kock yang mereka mainkan sudah tidak berwujud lagi. Dilemparnya raket yang direbut paksa tadi kepada pemiliknya. Kemudian berlari menuju segerombolan anak yang bermain bola.Sementara anak pemilik raket tadi berlari membawa raketnya pulang. Dilemparnya raket itu di halaman rumah. Berbalik lagi dia menuju jalan untuk bermain bersama anak-anak lain.“Ikut, ikut, aku gawang sini!”“Sudah penuh ngga’ usah.” Salah seorang dari mereka mencoba melarang .Tak mempedulikan larangan itu tetap saja dia bermain bola dengan mereka. Dilihatnya gawang satu ke gawang lain cukup sempit untuk permainan itu. Diambilnya gawang batu itu kemudian dia letakkan beberapa langkah dari sebelumnya. Sekarang jalan yang mereka bermain bola sudah cukup panjang. Dia pun bermain bola bersama mereka dan masih di bawah guyuran hujan yang tampaknya sudah tidak begitu deras.Terlihat ibu-ibu berseragam PKK melewati mereka. Dengan dilindungi payung ibu-ibu itu berjalan melewati mereka. Anak-anak itu tetap tak peduli dengan pejalan kaki yang melintas. Terus saja mereka asyik bermain bola. Namun sepertinya permainan mereka menjauh dari ibu-ibu yang melewati jalan itu.Lewat sudah ibu-ibu tadi. Dan dengan bebas mereka menendang bola diantara dua gawang di jalan itu.Sudah tidak lagi terpenuhi oleh anak-anak yang bermain bola kecuali hanya beberapa. Mereka meninggalkan permainan dengan berlari bergerombol.Sebelumnya muncul anak belasan tahun yang memprovokasi mereka. Anak itu mengejar salah seorang anak lain. Mungkin dia ingin menunjukkan kekuatannya dengan membawa anak-anak yang sedang bermain bola tadi bersamanya. Bersama-sama mereka mengejar anak yang entah seperti apa rupanya. Dan entah perkara apa yang sanggup memprovokasi mereka meninggalkan permainannya. Mungkin mereka cuma ikut-ikutan saja berlarian bergerombol mengejar anak lain. Padahal mereka sendiri tidak tahu urusannya.Beberapa menit kemudian segerombolan anak yang berlari mengejar anak lain kembali. Sepertinya tak diperolehnya apa pun. Berpapasan mereka dengan truk yang lewat jalan itu.“He… minggir! Minggir!” teriak kernet di dalam truk itu. Dengan nada menggertak dan memarahi anak-anak tadi.“He…Hu…Hoi..” berteriak-teriak anak-anak itu mengejek kernet truk. Mereka rupanya tak mau mengalah dengan amukan kernet tadi.Mereka lanjutkan permainan mereka. Tidak ketinggalan si provokator tadi ikut bermain di jalan itu membaur bersama mereka.Sekarang sudah ramai lagi jalan itu. Keriuhan mengalahkan derasnya guyuran hujan.Beberapa saat kemudian deras hujan mulai berkurang. Hanya meninggalkan gerimis yang masih betah mengguyur.Dengan ikutnya sang provokator bermain bola bersama mereka hilang pula keasyikan mereka. Bagaimana tidak, tiap bola yang bergulir ke kaki sang provokator selalu saja ditendangnya keras-keras tanpa terarah. Tentu saja bola itu kemudian melambung menjauhi lapangan permainan. Hal in membuat mereka jengkel.Lagi, si provokator mendapat bola dan ditendangnya keras-keras. Tanpa diduga bola itu menghantam keras pintu salah satu rumah di sekitar jalan itu. Kontan saja semua berlarian kocar-kacir menjauhi area itu.“Kurang ajar, anak-anak setan.” Si pemilik rumah keluar sambil meracau tak henti-hentinya. Diambilnya kemudian bola di hadapannya. Dibawa masuk bola itu. Entah apa yang akan dilakukannya pada bola itu.Anak-anak yang lari kocar-kacir tadi sebagian bersembunyi. Sambil mengawasi rumah itu. Sebagian lagi melarikan diri menjauh dari area bermain. Mereka mencari tempat lain untuk bermain. Mereka menuju areal tambak yang tidak jauh letaknya dari jalan tadi. Berenang mereka asyik di tambak meski asin airnya namun bersih.Gerimis masih belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Tak lama kemudian terlihat bola terlempar ke jalan. Bola yang tadi menghantam pintu. Anak-anak yang bersembunyi tadi segera mengambilnya. Namun sudah tidak utuh lagi bola itu. Sisi-sisinya sudah menganga lebar oleh goresan pisau. Tentu saja sudah tak dapat dipakai lagi.Oleh salah satu anak dilemparnya kembali bola itu ke arah rumah tadi. Dengan kencang bola itu menghantam kaca namun tidak cukup kencang untuk memecahkannya. Berlari sekencang-kencangnya anak itu setelah usahanya melempar bola sukses. Pemilik rumah keluar lagi namun tak dilihatnya siapa pun di depan rumahnya. Anak-anak itu sudah menghilang.Masih asyik berenang mereka tambak itu.datanglah sebagian anak-anak yang nekat melempar bola tadi. Langsung terjun mereka ke dalam air. Ada pula yang melepas baju dan celananya dahulu sebelum masuk tambak.Sementara mereka asyik berenang bermain air sang penjaga tambak muncul. Dari kejauhan penjaga tambak mengacungkan tangannya yang memegang parang. Meski hanya untuk menakuti anak-anak parang itu namun mereka tetap saja takut. Tanpa komando kocar-kacir lagi anak-anak itu keluar dari air. Berlari mereka di atas tanah lempung di sisitam bak yang licin. Berpencar mereka menuju rumah masing-masing. Dengan telapak kaki yang masih berbalut lumpur. Sementara anak yang melepaskan pakaiannya tadi lari tanpa sempat mengenakan kembali pakaiannya. Digenggamnya pakaian itu pulang menuju rumah. Sudah berakhir pesta mereka. Padahal gerimis belum juga reda.
read more..

Senin, 15 Juni 2009

A S O E

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
ssssssssssssssssssss
oooooooooooooooooooo
eeeeeeeeeeeeeeeeeeee
read more..

Penculik, Maling, ya Penjahat

“Kita apakan anak ini, bos?”
“Kita ini lagi ngapain?”
“Nyulik anak ini, bos.”
“Kenapa nanya?”
“Lha bos kenapa nanya?”
“Jangan banyak nanya, jaga anak ini jangan kamu apa-apain!”
“Bos mau ke mana, bos?”
“Aku bilang jangan banyak nanyak!”
“???”
“Jangan banyak nanya!”
“!!!”
Sementara Tolal menjaga anak itu agar tidak kabur Tolel mencari telepon umum atau wartel barangkali, karena telepon umum sekarang ya wartel itu, dan wartel ya telepon umum juga.
Dengan nada mengancam dan sok kuasa, sok penting, dan paling penting, Tolel berbicara dengan orang tua anak itu agar menyerahkan uang tebusan, pikirnya.
“Anak bapak ada di tangan kami. Serahkan uang tebusan enam milyar atau anak bapak kami bunuh. Jangan macam-macam dengan kami dengan melapor ke polisi! Nyawa anak anda taruhannya. Letakkan uang itu di bawah Tugu Muda jam dua belas malam tepat! Jangan kurang jangan lebih. Kalau uangnya lebih, boleh.”
“Anda siapa dan kenapa harus enam milyar, uang atau daun?”
“Saya Tolel, penculik. Coba anda tanyakan kepada presiden, enam milyar itu uang atau daun, yang digunakan untuk menyambut presiden Amerika itu.”
“Lalu anak siapa yang anda culik?”
“Anak presiden. Ya bukan , anak bapak.”
“Saya tidak merasa pernah punya anak, anda salah orang.”
“Tidak, anak itu sendiri yang memberikan nomor telepon ini.”
Tut…tut…tut…telepon ditutup.
“Halo pak, halo, halo, pak halo.”
Tolel kembali ke tempat persembunyian dengan dongkol. Tolel merasa ditipu anak ingusan itu.
“Aku akan hajar anak ingusan itu.” Gerutunya.
“Dimana anak ingusan itu?” teriaknya pada Tolal.
“Ga tau.” Timpal Tolal seenaknya.
“Ga tau gimana? Kamu aku suruh njaga anak ingusan itu malah ga tau.”
“Katanya ga boleh diapa-apain, anak itu lari ya aku biarin aja.”
“Cari anak itu, cepat. Jangan balik tanpa anak itu!”
Tolal langsung saja keluar mencari anak itu. Tapi beberapa menit kemudian Tolal kembali lagi dan membawa anak kecil.
“Siapa anak ini?” Tanya Tolel.
“Aku temukan di jalan, bos.”
“Cari lagi anak itu sampai ketemu!”
Tolal keluar lagi dari tempat persembunyian dan mencari lagi anak itu.
“Kamu siapa? Anak orang kaya bukan?” tanya Tolel pada anak itu.
“Saya Kevin, om. Ayah saya punya banyak mobil, ibu saya punya banyak kalung mutiara di lacinya. Jadi saya anak orang kaya kan om?”
“Kaya banget.”
“Tapi temen-temen di sekolah mengejek saya anak miskin.”
“Tidak, kamu anak orang kaya.”
“Tapi ayah temen-temen saya lebih kaya dari ayahku.”
“Biarin aja. Sekarang kamu di sini saja main sama om, kamu suka main apa?”
Sambil bermain dengan anak itu, Tolel menginterogasi dan mengorek informasi dari anak itu. Lalu dia meninggalkan anak itu dan mencari lagi wartel.
“Kok ga diangkat pada ke mana orangnya ini.” Menggerutu Tolel sambil menunggu telepon diangkat.
“Halo.” Telepon terjawab.
“Ya halo, bisa bicara dengan Pak Drajat?”
“Saya, anda siapa?
Seperti di film-film Tolel menjawab pertanyaan Pak Drajat dengan nada sok penculik.
“Anak anda, Kevin ada di tangan saya. Jika ingin anak anda selamat, sediakan uang enam milyar. Awas jangan lapor polisi.”
“Lho, saya ini polisi.”
“Kalau begitu jangan curhat sama temen-temen anda, kalau tidak ingin nyawa anak anda lenyap!”
“Sebagai polisi saya pandai berkompromi, jangan kuatir. Tapi anak saya tidak boleh lecet sedikitpun kecuali anda ingin saya tembak di tempat.”
“Asal bapak sediakan uang jaminan, terima beres sajalah. Tapi, pak. Betul anda polisi?”
“Yang meragukan anda?”
“Polisi kok punya banyak mobil, banyak perhiasan istrinya. Pasti itu hasil was wes wos sana sini ya pak? Kalau begitu anda sama seperti saya juga, penjahat. Hanya saja jurusan anda jurusan kepemalingan. Maling bondo(harta) rakyat. Profesi anda sebenarnya maling tapi nyambi jadi polisi, betul tidak? Wah, kalau begitu saya tolak uang anda dan saya tidak jadi nyulik anak bapak.”
Tut tut tut…. Gagang telepon dibanting oleh Tolel sebelum percakapan selesai. Tolel jengkel sudah dua kali nyulik gatot semua, gagal total. Yang pertama tertipu si terculik, yang kedua, sasaran malah seprofesi juga, penjahat. Sebagai penjahat jurusan kepenculikan, Tolel masih ingat betul etika profesi penjahat. Tertuang dalam UUDP’45 atau Undang Undang Dasar Penjahat Empat Lima (empat lima karena waktu itu UUDP’45 itu di musyawarahkan oleh para wakil penjahat yang duduk di MPP (Majelis Permusyawratan Penjahat) dimulai pukul lima pagi, selesai pukul lima sore. Lalu nyeletuk salah satu wakil penjahat supaya ditambahi embel-embel 45, “Biar keren” katanya.). dalam salah satu pasal UUDP’4 tersebut berbunyi “Sesama Penjahat diharapkan menghindari sikap saling menjegal.”
Sebagai penjahat yang taat hukum kepenjahatan, Tolel tidak diperkenankan menjegal penjahat lain yang sukses agar jatuh tersungkur seperti dirinya.
Setibanya di tempat persembunyian didapati Tolal sedang bermain dengan anak polisi tadi.
“Pulang sekarang, kamu tidak jadi tak culik. Sana pulang ke BAPAKMU. Jangan ke sini lagi!”
“Kok malah disuruh pulang, bos?”
“Aku bilang jangan banyak nanya!”
“Tidak jadi diculik anak itu, bos?”
“Kita pindah jurusan saja. Banting setir.”

Semarang, 2007
read more..

Sabtu, 06 Juni 2009

Bukan Salah Lelaki Tua Itu

Terlalu banyak yang bertanya. Terlalu banyak yang heran. Terlalu banyak yang tidak habis pikir. Kesemuanya menjadi pemberat yang membebani timbangan pertanyaan. Alhasil, timbangan jawaban pun lebih terjungkir tinggi. Timbangan pertanyaan lebih berat dibanding sebelahnya.
Pada akhirnya, tidak ada yang dapat dengan pasti kecuali, kenyataan dan waktu. Tak dapat disangkal kenyataan itu ternyata melebihi jawaban atas semua misteri. Bukan. Bukan misteri. Karena semua orang tahu. Orang tua, yang sepuh sekalipun, bahkan anak kecil tak terkecuali. Semua tahu hanya lelaki itu yang mampu berjalan di luar lingkaran. Lelaki Tua itu. Umur yang sudah uzur, berkepala enam Lelaki Tua itu, memang memunculkan pertanyaan-pertanyaan di kepala orang-orang kampung ini.
“Bagaimana bisa, Lelaki Tua itu memiliki bayi yang seharusnya menjadi cucunya?“ Kurang lebih pertanyaan inilah yang menggenangi isi kepala orang-orang kampung.
Namun pertanyaan itu sesungguhnya tidak lagi menjadi teka-teki. Jawaban sudah tersedia, menunggu. Hanya satu kata saja cukup sederhana meskipun tidak sesederhana seperti kenyataannya. Bisa, hanya kata ini jawabannya, cukup satu kata. Tidak mengherankan memang, karena kenyataanya Lelaki Tua itu bisa. Tak ada yang bisa menyangkal karena memang seperti itulah yang sekarang terjadi.
Jangan bertanya “Dari mana bayi itu?”! Tentu saja darah daging Lelaki Tua itu. Bagi yang belum mengetahui bayi itu tentu saja lahir dari rahim emaknya, istri Lelaki Tua itu.
“Kok bisa, lelaki tua kawin dengan wanita dua puluh lima tahun-an yang seharusnya menjadi anaknya?” Barangkali itulah yang membuat seisi kampung heran. Wanita yang seharusnya melahirkan cucunya malah melahirkan darah daging Lelaki Tua itu.
Jangan berpikir itu adalah skandal yang membayangi otakmu wanita itu adalah anak Lelaki Tua itu yang dihamili sendiri kemudian melahirkan darah daging mereka. Hilangkan itu karena, sama sekali bukan. Wanita itu bukan anak Lelaki Tua itu. Wanita yang menjadi istri Lelaki Tua itu. Wanita itu benar-benar istri Lelaki Tua itu meski usianya dua puluh lima tahun-an. Bayi itu pun bukan seperti yang kamu bayangkan. Bayi itu benar-benar anaknya, Lelaki Tua itu meskipun sudah berkepala enam.
Jika begitu pasti banyak yang telah mengetahui wanita itu bukan istri pertama Lelaki Tua itu. Benar, paling tidak itulah yang terlihat oleh warga kampung ini. Orang-orang yang tidak mengetahui pasti bertanya dimana istri pertamanya, atau di mana istri sebelumnya. Itulah yang membuat orang-orang kampung ini tidak habis pikir. Lelaki Tua itu dengan sengaja membunuh istri pertamanya yang konon diguna-guna sampai ajal menjemputnya. Tubuhnya dibuat mati di satu sisi dan tetap dihidupkan disisi lainnya. Orang-orang menyebutnya mati separo.
Berminggu-minggu dia dibuat seperti itu. Bagian tubuhnya yag sebelah kanan benar-benar lumpuh, sedikitpun tidak dirasakan bahwa dia memiliki tangan kanan. Yang dirasakan hanya tangan kirinya yang tidak bisa dengan bebas dia gerakkan seperti orang melempar batu. Hanya berbaring lemas menjalani penderitaan itu.
Bibirnya tidak dapat dia kendalikan yang bergetar dan bergerak tanpa ia inginkan.
“Lebih baik aku mati, aku ingin cepat mati.” Hanya ucapan pengharapan itulah yang dapat keluar dari mulutnya saat orang-orang terdekatnya disampingnya. Mereka menghiburnya dengan cara apapun. Sesekali senyum yang hanya sesimpul di pipinya terbentuk. Mungkin jika dia mampu dia akan terbahak-bahak dan membuka selebar-lebarnya mulutnya ikut tertawa bersama mereka.
“Kalau mati hari minggu saja Mak, biar aku ga bolos kerja!” Entah apa maksud perkataan tersebut, Perempuan itu hanya dapat memberikan senyum kecil kepada anak dari adiknya.
Suasana pun melunak setelah beberapa saat orang-orang di sekitar Perempuan itu terdiam mendengar ucapan anak dari adik Perempuan itu. Mereka terhanyut memikirkan kematian Perempuan itu yang tidak lama lagi datang..
“Mungkin memang lebih baik penderitaanmu berakhir, dan pulanglah dengan tenang jika memang tidak bisa sembuh juga.” Kurang lebih apa yang ada di dalam kepala orang-orang di sekitar Perempuan itu yang tidak tahan melihat deritanya berisi kalimat tersebut. Tak ada seorang pun yang berani menyuarakannya. Namun ucapan anak dari adik Perempuan itu mewakili mereka semua.
Semua pun ikut tersenyum melihat Perempuan itu tersenyum meskipun kecil namun besar maknanya bagi Perempuan itu dan orang-orang di sisinya. Meskipun orang-orang itu telah pulang ke rumah masing-masing makna itu masih melekat dan terpaku di hati Perempuan itu.
Malam itu mereka menemani Perempuan itu sampai larut malam. Meskipun yang terlihat mereka sedang menghibur Perempuan itu, namun sebenarnya mereka menghibur diri mereka masing-masing. Meskipun satu dua kali Perempuan itu ikut tersenyum merasakan kebahagiaan mereka yang menghiburnya. Dan Perempuan itulah yang sesungguhnya menghibur mereka. Dalam hatinya dirasakan mereka menghibur diri masing-masing, dan hal inilah yang membuat hati Perempuan itu senang melhat tawa mereka di sisinya.

Minggu pagi tidak seperti biasanya Perempuan itu memanggil anaknya untuk membawakan air dan meminumkannya. Meskipun hanya dengan suara isyarat anak perempuannya yang tidur tidak jauh dari tempat Perempuan itu berbaring, tetap mengerti apa yang diinginkan Emaknya. Perempuan itu. Pagi ini tidak. Perempuan itu tidak memanggil anaknya.
Cahaya pagi yang masih redup dirasakan membasuh tubuh anak itu. Dia bangun, matanya tertuju pada Emaknya yang terlihat masih tidur dengan pulasnya. Beranjak dari ranjangnya dia bergegas ke kamar mandi. Tak lama kemudian dia langsung menghampiri Perempuan itu. Dilihat masih tertidur dengan pulas emaknya. Tidak ingin membangunkan Perempuan itu dia menyiapkan segala keperluan yang biasa diminta Emaknya itu. Diletakkannya segelas air di atas meja di samping tempat Perempuan itu berrebah. Ditunggunya Perempuan itu bangun sembari dia rebahkan dirinya diatas kursi sambil menatap wajah Perempuan itu. Meskipun tidur Perempuan itu masih bisa tersenyum. Dia pun tersenyum bangga dalam hatinya. Kebanggaan memiliki seorang Emak yang murah senyum meskipun dalam kondisi tersiksa melawan penyakitnya.
Dipegangnya tangan Perempuan itu dengan kedua tangannya.
“Tangan Emak dingin, Mak…Emak…Emak.” Dia mencoba membangunkan Perempuan yang tidur itu. Diguncang-guncang dengan halus tubuh Perempuan itu. Mata Emaknya tetap terkatup meski sudah berusaha dia bangunkan. Akhirnya dia hentikan usaha membangunkan Emaknya. Terpaku dia menatap tubuh Perempuan itu terbujur dalam ketenangan. Tidur dalam kedamaian.
“Emak jangan pergi, maafkan aku Mak, maafkan!” Isak tangis menyertai kata-kata yang diucapkan anak itu pada Perempuan itu meskipun sadar Emaknya tidak lagi bisa mendengarnya. “Aku belum minta maaf, aku banyak salah…, jangan pergi dulu Mak…jangan pergi…!” Masih dengan leleran air mata di pipinya masih sempat dia meminta maaf pada Emaknya.
Suara dan isak tangisnya mengundang warga di sekitar rumah itu. Semua berdatangan. Lalu pergi lagi mereka dari rumah itu setelah mengetahui yang terjadi. Satu per satu mereka kembali lagi ke rumah itu. Mereka kembali ke rumah itu tidak dengan tangan kosong. Dibawanya buku yang berisi doa-doa bagi orang yang meninggal. Ibu-ibu mengenakan kerudung dan menggenggam buku itu. Para pria mengenakan peci dan mulai sibuk mempersiapkan ritual persiapan pemakaman.
Tenda mulai didirikan, kursi-kursi ditata sedemikian rupa. Tempat memandikan mayat mulai dibuat. Berita kematian Perempuan itu mulai diumumkan lewat speaker satu mushola, diikuti mushola dan masjid lain. Seluruh isi kampung telah megetahui kabar kematian Perempuan itu. Satu dua rombongan datang. Satu per satu mendatangi rumah itu. Para wanita yang kebanyakan ibu-ibu itu langsung masuk ke ruang dibaringkannya Perempuan itu. Tedengar riuh doa-doa dialunkan di ruangan itu. Kursi-kursi yang telah tertata di luar rumah mulai penuh oleh para pria yang menunggu jenazah siap untuk dishalatkan di masjid.
Pemakaman dihadiri seluruh kerabat kecuali, mereka yang tinggal jauh di luar kota yang baru bisa datang malam harinya. Suaminya, Lelaki Tua itu turut meghadiri pemakan jenasah Perempuan itu. Tidak sendiri Lelaki Tua itu, di sampingnya berdiri calon istri pengganti Perempuan yang jenasahnya dimakamkan itu. Mungkin saat itulah yang dinanti oleh mereka.
Kedatangan Lelaki Tua itu cukup mengundang perhatian orang-orang yang menghadiri pemakaman itu. Setelah sekian lama meninggalkan Perempuan itu dalam penderitaan menunggu maut bertamu, kni tiba-tiba lelaki Tua itu muncul di saat Perempuan itu telah berpulang. Semua orang kampung yang menghadiri pemakaman tidak ada yang tidak tahu apa yang terjadi antara Perempuan dan Lelaki Tua itu. Namun mereka sengaja membiarkan Lelaki Tua itu. Mereka tidak menyapanya kecuali, Lelaki Tua itu yang lebih dulu menyapa. Itupun mereka lakukan dengan mimik yang tidak bersahabat, mrengut.
Entah apa yang sedang dipikirkan wanita yang berdiri di seelah Lelaki Tua itu, calon istri yang sebenarnya lebih pantas menjadi anak Lelaki Tua itu. Bila memang isu yang tersebar di kampung ini benar maka, pasti lega karena telah tersingkir Perempuan itu. “Akhirnya, mati juga kau perempuan tua.” Mungkin atau pasti itulah yang memnuhi kepala wanita dua puluh lima tahunan itu. Entah berapa pastinya umur wanita itu. Bisa jadi kurang dari dua puluh lima tahun atau lebih.
Wanita itulah yang konon mengguna-guna Perempuan itu sampai tiba ajalnya. Bukan tanpa alasan isu itu bisa muncul ke permukaan. Kurang dari satu minggu awal dari penyakit yang diderita Perempuan itu setelah sebelumnya sempat berseteru dengan wanita dua puluh lima tahunan itu. Seperti kucing mereka adu cakar. Tentu saja Perempuan itu kalah bertenaga dibanding tenaga muda wanita dua puluh lima tahunan itu. Tak habis akal Perempuan itu menjambak rambut wanita dua puluh lima tahunan itu, dan rupanya itulah titik lemahnya. Mencoba membalas, mencakar-cakarkan tangannya mengarah ke kepala Perempuan itu. Berhasil dia menjangkaunya namun susah baginya menjambak rambut Perempuan itu yang kebetulan digulung menyerupai konde.
Perempuan itu menyeret tubuh wanita dua puluh lima tahunan yang sudah tak berdaya itu hanya dengan meemegang rambut dan menariknya. Wanita itu hanya bisa mengikuti ke mana rambutnya dijambak.
Tak ada seorang pun yang melerai mereka. Orang-orang kampung yang kebetulan melihat kejadian itu hanya sanggup menontonnya dari jauh. “Toh, pada akhirnya pergulatan itu berakhir juga.” Pikir mereka.
Karena sakit hati dengan kekalahannya ditambah kenginannya merebut Lelaki Tua itu dari tangan Perempuan itu Wanita dua puluh lima tahunan itu lantas mengguna-guna hingga ajal membawa Perempuan itu pulang. Versi lain menyebutkan Lelaki Tua itu yang bersalah atas kematian Perempuan itu.
***
Seperti biasa, aku melewati rumah Lelaki Tua itu.
“Berangkat Kerja, Mas?” Dengan senyum yang ramah dia menyapaku. Tiap pagi Lelaki Tua itu menghabiskan waktunya di teras rumahnya bersama bayinya. Dikudangnya (dimomong) bayi itu, sementara istri mudanya, wanita dua puluh lima tahunan itu di dalam rumah dan akan bergabung setelah selesai memasak untuk Lelaki Tua itu, untuk dirinya, dan untuk bayi itu. Untuk mereka.
“Iya, pak mau ke tempat kerja, mari…, Pak.” Aku membalas keramahan Lelaki Tua itu dengan senyum dan keramahan pula.
Setahun, kurang lebih setelah kematian Perempuan itu kedaan kampung sudah kembali normal. Orang-orang kampung sudah terlupakan dengan kesibukannya sendiri. Meskipun sampai saat ini tak ada satu pun yang yang mengetahui siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Perempuan itu. Bisa jadi keduanya.
Aku tidak pernah menyalahkan mereka. Pikirku bukan karena mereka mengguna-guna Perempuan itu hingga ajal bertamu kepadanya melainkan disebabkan penyakit yang banyak diderita orang-orang yang sudah berumur. Stroke, orang-orang menyebutnya.
“Aku meninggalkan istriku yang sedang sakit, memang berat rasanya. Namun aku tidak punya pilihan dan harus pergi untuk mencarikan obat demi kesembuhan istriku. Tapi, terlambat. Aku belum menemukan obat itu sebelum ajal menjemputnya. Biarlah orang berkata apa. Mereka tidak bisa merasakan tapi hanya bisa melihat dan berkomentar. Kita tidak akan bisa maju bila terus mendengar bisikan-bisikan mereka. Hidup ini tinggal menjalani saja, tidak susah. Seperti awan, dia menurut ke manapun angin mendorongya. Ketika dia mendatangkan kilat kita tidak bisa menyalahkannya karena itu bukan keinginan awan tersebut.” Masih banyak nasihat-nasihat Lelaki Tua yang dibagikannya kepadaku. Saat sempat aku mampir sejenak sepulang kerja sore hari ke rumahnya.
Benar, apa yang dikatakan Lelaki Tua itu, aku tidak akan bisa maju dan tidak akan mendapat nasihat kehidupan dari pengalaman Lelaki Tua itu berperang melawan hidup jika aku hanya mendengar bisikan-bisikan orang-orang kampung, “Untuk apa ke rumah Lelaki Tua itu, mencari penyakit.”

Semarang, 11 Februari 2007
read more..

Jumat, 29 Mei 2009

Lalu...? Lintas

Lalu…? Lintas.

“Kok ga ada apa-apa gini. Apa memang ga punya apa-apa, to? Sebagai petugas pengawas lalu lintas paling tidak ada camilan atau minuman biar ga bosen atau ngantuk.” Herman kepada teman-temannya yang sepaneng (serius) mengawasi lalu lintas di luar pos.”
Sebagai petugas mereka lebih senang mengawasi orang-orang yang berlalu lalang dari dalam pos, selain tidak menghabiskan banyak tenaga mereka juga bisa tiduran sebentar kalau lagi penat. Memang manusiawi, dan kebanyakan orang yang kalaupun disuruh menjadi mereka juga akan melakukan hal yang sama.
“Tanggal tua gini, seret Man. Boro-boro camilan, wong gaji kita tu ga cukup ngidupi anak istri. Palagi pendidikan, yang semakin tinggi semakin besar biayanya. Anak saya tiga, yang besar kuliah, yang nomor dua SMU, yang terakhir masih SD. Harus bayar inilah, harus iuran itulah, semua pake uang.”
“Maka dari itu kita dituntut kreatif dan inovatif. Bagaimana supaya dengan profesi kita ini bisa mendatangkan rejeki sampingan.” Timpal Herman pada Subagia.
“Katanya kamu orang paling kreatif di sektor wilayah ini, sudah tunjukin sana!”
“Portal penutup jalan itu bisa jadi ladang uang itu Ya.”
“Ya gimana caranya terserah, yang penting kita ga bosen dalam bertugas.”
Herman bergegas ke arah portal. Digesernya portal itu sedikit sehingga menyisakan sedikit ruang yang hanya bisa dimasuki kendaraan bermotor roda dua. Herman memang dikenal kreatif dalam membuat jebakan-jebakan seperti itu. Banyak cara dilakukan termasuk yang satu ini. Dan berdasarkan pengalaman, idenya selalu menuai sukses. Mungkin juga kali ini.
Selesai memasang perangkap Herman kembali ke pos sambil menunggu “kelinci” yang terjerat perangkapnya.
“Gimana, sudah?”
“Sekarang kita tinggal menunggu hasil jebakan. Tinggal panen, ga perlu susah payah. Kelinci-kelinci itu akan datang sendiri. Kita ga perlu susah payah, tinggal ongkang-ongkang aja di pos, duit datang sendiri. Enak po ra?”
Masih pagi dan belum banyak pengendara yang lewat. Hanya satu dua motor yang ragu menerobos portal itu tapi tidak jadi. mungkin mereka masuk jenis pengendara yang patuh peraturan lalu lintas. Atau mereka sudah jera dan tidak mau lagi berurusan dengan petugas yang suka nyang-nyangan (tawar-menawar) harga untuk sebuah pelanggaran. Dan setelah itu mereka menggerutu, “Dasar polisi mata duitan”.
“Nah tu sudah ada yang masuk, disumprit Ya!”
Bergegas Subagia keluar dari pos dan…priiit….priiit ….iprit…iprittt…. Kontan saja pengendara tadi kelabakan dan terpaksa menghentikan laju motornya.
“Selamat pagi, pak. Bisa diperlihatkan surat-suratnya?”
Mengeluarkan dompetnya pengendara tadi merogoh di saku celananya. Kemudian mengeluarkan STNK dan SIM kepada Subagia.
“Anda tahu kesalahan anda?” Interogasi Subagia.
“Tahu pak.” Jawab pengendara itu ketakutan.
“Lalu kenapa anda langgar?” tanya Subagia lagi.
“Saya buru-buru jadi….”
“Sudah sekarang ikut saya ke pos!”
Pengendara itu mengekor saja di belakang Subagia masuk ke pos.
“Ini anda mau titip sidang atau anda bersidang sendiri?”
“Titip sidang saja pak.”
“Kalau anda titip sidang, bayar lima puluh ribu, kalau anda ingin sendiri yang datang ke tempat sidang, sekarang saya buatkan suratnya.”
“Jangan lima puluh ribu pak, kasihan saya to pak.”
“Ya sudah, ini saya buatkan suratnya.”
“Jangan pak, tiga puluh ribu saja pak, mbok kasihani saya ini pak.”
“Lima puluh ribu atau sidang? Lima puluh ribu itu sudah murah, biasanya tujuh puluh lima ribu kalau titip sidang.”
“Tapi bagi saya itu…”
“Ya sudah empat puluh lima ribu saja, tidak ada lagi tawar menawar.”
Pengendara itu sejenak diam berpikir.
“Gimana, sidang?” Tanya Subagia mencoba memancing.
“Baiklah pak, ini empat puluh lima.” Dengan wajah yang kecut, pelanggar tadi mengeluarkan lembaran uang lima puluh ribu dari dompetnya. “Kembali lima puluh ribu, pak, eh.., lima ribu, ya, lima ribu pak.”
Sementara Subagia bertransaksi dengan pelanggar tadi, Herman melihat masuk satu lagi korban dan bergegas keluar pos menghentikan pengendara itu. Priiiitt….
“Selamat pagi, anda tahu sudah melanggar rambu lalu lintas? Bisa tunjukkan surat-suratnya?”
“Saya benar-benar tidak tahu, pak.”
“Sekarang ikut saya ke pos!”
"????."
read more..

idealisme kucing

Idealisme Kucing

Gembar-gembor:
“Berangus Korupsi, Singkirkan Kolusi, Usir Nepotisme dari Indonesia”

“Turun ke jalan-jalan berbondong-bondong menentang kebijakan ini kebijakan itu. Tolak RUU ini-itu. Adili si ini gantung leher si itu. Teriak kalian. Tapi apa yang kalian dapat? Uang politik? Kemudahan pandanaan dari pihak lain, untuk agenda-agenda kalian? Membuktikan idealisme kalian? Agar mereka tahu masih ada yang tidak hanya diam ketika tertindas oleh kesewenangan? Apakah mereka manut (menurut) pada aksi kalian? Lalu mereka takut kepada kalian? Kenyataannya justru kalian yang manut karena uang politik mereka. Kalian yang lari tunggang langgang dikejar tangan mereka. Mencoba meremas kalian khususnya kepala kalian. Kepala kalian yang penuh dengan semangat idealisme yang bisa mengancam kursi mereka. Mereka ingin itu hilang dari kepala kalian. Cara apapun mereka lakukan untuk menutup cangkem (mulut) kalian. Kalau perlu mencuci otak kalian dengan uang haram mereka. Bagusnya kalian bisa menghindar karena lari kalian lebih cepat. Lalu kalian bisa tenang-tenang ngumpet di balik bangku kuliah kalian. Tapi penentangan kalian absurd. Menggelikan. Proposal ini. Proposal kegiatan ini kalian jual pada mereka. Mengemis kalian pada mereka dengan kedok proposal ini. Dengan dalih untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Untuk meningkatkan kualitas kalian-kalian dengan acara ini acara itu. Seminar ini seminar itu. Sukses (mungkin) kegiatan kalian. Tapi sama saja dengan mereka, kalian. Korupsi kecil-kecilan. Koruptor kelas teri. Apa kalian pikir aku tidak tahu dana kegiatan in kegiatan itu yang kalian gelembungkan? Dengan dalih untuk operasional kegiatan kalian selipkan satu dua lembar. Meski selembar tetap saja itu namanya korupsi, penyelewengan. Kalain ini tahu apa pura-pura tidak tahu. Jangan berlagak intelek untuk melakukan korupsi. Sami mawon (sama saja), tidak ada bedanya. Orang –orang menyebut yang kalian kutuk tapi kalian lakukan juga munafik. Di depan rakyat kalain berlagak menentang tradisi pemerintah, korupsi. Say no to corruption kata kalian. Perangi koruptor suara kalian keluar. Namun tidak dari hati nurani kalian, betul tidak? Agar rakyat kecil mendukung kalian. Agar Rakyat Besar mengasihani kalian. Sungguh pandai berakting kalian. Punya dua topeng dan tepat pula waktu mengenakannya rupanya. Kalian kenakan topeng yang satu di depan Rakyat Besar agar mereka mau mendanai kegiatan kalian, topeng dengan mimik memelas, “topeng pengemis”. Kalian tutupi idealisme kalian dengan topeng itu. Kalian sembunyi kemanakan idealisme itu aku tidak peduli. Kemudian setelah berhasil kalian lepaskan “topeng pengemis “itu dan mengenakan topeng yang satunya untuk berunjuk gigi di depan rakyat kecil, “topeng hero”. Dengan berlagak sebagai “hero” kalian sungguh kesiangan. Atau kalian kepagian beraksi memberantas “kejahatan” saat mereka masih terlelap. Bagaimana jika rakyat kecil dan Rakyat Besar (barangkali) memerlukan kalian di waktu yang sama? Apa kalian akan kebakaran jenggot? Tidak apalah jika yang kebakar cuma jenggot kalian. Lagipula jenggot kalian belum terlalu lebat. Jadi tidak susah untuk memadamkannya. Sekedar ditiup saja pasti padam.
P A D A M
read more..

Sabtu, 25 April 2009

Rabu, 22 April 2009

Mengritik Jam Dinding

Masih berdetak detik demi detik. Suaranya bisa terbaca.
“Ini masih jam sebelas.”
“Benar, sekarang masih jam sebelas lantas kenapa ayam itu berkokok?”
Jam di dinding itu tak bisa lagi terbaca kecuali suaranya. Pekatnya gelaplah penyebabnya.
“Ini masih jam sebelas.”
“Iya aku tahu ini baru jam sebelas tapi, kenapa ayam-ayam itu berkokok duluan?”
“Ini masih jam sebelas lebih satu menit.”
“Jam edan.”
Bermula hanya satu yang berkokok kemudian satu lagi ayam jago berkokok nyaring, menyusul tidak jauh dari ayam pertama berkokok ayam lain.
“Ada apa ini, apa yang ada di dalam kepala ayam itu. Apa yang ingin ditunjukkan ayam itu. Pertanda apa?”
Bersautan ayam jago di seluruh kampung ini, seperti ingin unjuk gigi satu per satu ayam itu berkokok senyaring mereka mampu.
“Barangkali pertanda bahaya. Mungkin angin puting beliung seperti yang diberitakan banyak media. Atau mungkin sunami dari laut utara bakal menggibas kampung ini?”
Adil bergegas bangun, ditapakinya tangga kayu naik ke lantai dua. Dari jendela ditatapnya laut di sebelah utara.
“Tenang-tenang saja air laut itu. Sudah malam begini kok ya masih ada saja orang-orang yang sliwar-sliwer di pantai itu. Anak-anak muda sekarang memang tidak tahu aturan, tidak tahu waktu. Pacaran mencari tempat yang sepi, tempat yang gelap, malam-malam lagi, edan semua. Biar dihantam sunami mereka semua. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda akan terjadi sunami. Air laut itu hanya diam saja. Mungkin bukan sunami tapi, angin puting beliung.”
Ayam-ayam jago masih terus bersautan. Terdengar kokokan ayam jago dari ujung utara kampung itu. Kemudian ayam-ayam jago dari sisi timur kampung itu. Adil semakin cemas. Pindah tempat dia melihat sisi timur kampung itu. Semakin banyak ayam yang ikut berkokok semakin bingung Adil dengan fenomena itu.
“Tak ada apa-apa. Biasanya mereka berkokok saat matahari hendak terbit tapi jam segini kenapa sudah berkokok? Matahari jelas belum terbit kalau jam sebelas malam seperti ini. Ayam jago gendeng. Kalau tidak terbit dari timur mungkin terbit dari barat. Wah, kiamat.”
Berpindah lagi dia melihat ke arah barat.
“Tidak ada sinar dari barat kecuali sorot lampu mercusuar. Tidak ada apa-apa tapi ayam-ayam jago gendeng itu belum juga berhenti berkokok. Ah… ayam gendeng tetap saja ayam gendeng. Biar mereka sendiri yang gendeng,. Terserah kalian sajalah, daripada aku ketularan gendeng seperti kalian.”
“Ku..ku…ru…yuk…”
“Hoi…diam, ayam gendeng!” kalimat itu keluar begitu saja seketika dia terhentak oleh kokokan ayam di jarak sepuluh meter dari tempat dia berdiri.
“Terserah kalian mau ngendhog, mau berkokok aku tidak akan ikut-ikutan gendeng, aku mau tidur saja.” Mulut Adil mengumik-umik seperti membaca mantra sambil berjalan menuruni tangga. Dibaringkan lagi tubuhnya di atas pembaringannya. Masih heran dan terus menduga-duga kenapa ayam-ayam itu.
“Apa mungkin terjadi lagi cerita Candi Sewu atau cerita Sangkuriang di Zaman ini. Ayam-ayam gendeng itu suruhan Roro Jonggrang. Atau mungkin suruhan Dayang Sumbi. Mungkin memang terjadi lagi tapi bukan candi yang dibangun melainkan gedung pencakar langit seribu tingkat mungkin juga kapal pesiar bukannya perahu. Ah…, biar sajalah akal bulus mereka akan berbalik pada mereka juga. Kalaupun gedung pencakar langit yang dibuat Bandung Bondowosonya zaman modern ini. Paling-paling dia marah kemudian mengutuk Roro Jongrangnya zaman modern ini menjadi patung di depan gedung itu. Patung air mancur.” Adil mereka-reka sesekali menggaruk-garuk kepalanya.
Suara dua bilah kayu saling menghantam terdengar jelas. 
“Siapa malam-malam begini kurang kerjaan. Mungkin orang-orang kampung ini memukul lesung seperti perintah Roro Jongrang. Tapi ini kampung laut, tentu saja bukan kampung penghasil padi. Tidak ada gabah yang bisa mereka jadikan alasan untuk memukul lesung. Karena kampung laut mungkin bukan gabah tapi udang rebon yang mereka jadikan alasan memukul lesung itu. Lagi pula ini memang musim angin barat. Udang-udang rebon itu pasti berkeliaran di pinggir-pinggir laut. Tapi sekarang ini sudah tidak ada sama sekali yang masih memakai lesung untuk itu. Bukannya mereka sudah menggunakan mesin untuk untuk menggiling rebon itu. Mereka lebih memilih mesin yang walaupun suaranya bisa terdengar keras dari ujung kampung ke ujung lain dengan pertimbangan efisiensi waktu dan tenaga. Biarlah pasti mereka nantinya juga berhenti sendiri.”
“Ini masih jam sebelas lebih empat menit.”
“Hoi…diam kamu jam goblok, coba kamu dengarkan ayam-ayam itu satu persatu sudah berhenti berkokok, apa kamu tidak dengar itu? Ah…akhirnya capek juga mereka ayam-ayam jago gendeng itu. Tapi orang-orang sinting itu tidak ikut berhenti. Perlu dihajar mereka itu.” 
Bangun lagi Adil mencari sumber suara. Satu persatu kakinya menapaki tangga. Kepalanya melongok ke atas, gelap. Telinganya masih merasakan kerasnya suara orang memukulkan kayu. Semakin ke atas semakin jelas terdengar semakin keras. Dilihatnya pintu membuka dan menutup dengan sendirinya.
“Pasti kucing dan tikus-tikus sialan itu yang malam-malam begini bikin onar.” Dinyalakan lampu di lantai dua. “Rupanya angin sialan yang bermain-main dengan pintu ini. Kertas-kertas pun diobrak-abrik, angin sialan nyusahin orang saja.” Adil memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai menatanya kembali di atas meja kerjanya. Buku tebal ditindihkan di atasnya. Angin berhembus dari jendela yang tidak bisa tertutup rapat meniup kertas-kertas itu. Pintu kembali tertiup menghantam kusen menimbulkan suara keras.
“Nah sekarang sudah aman kalian catatan-catatanku tidak akan lagi diobrak-abrik angin sialan itu.”Dituruninya anak tangga satu persatu dalam kegelapan setelah mengunci pintu.
“Jam berapa sekarang?”
“Ini masih jam sebelas lebih lima belas menit.”
“Nah begitu kalau ditanya ya dijawab, kalau tidak ditanya ya…jangan bersuara. Berisik tahu kamu? Sudah, sekarang aku mau tidur, awas kalau berisik lagi aku lengserkan jabatanmu. Sebagai penunjuk waktu kamu itu tidak boleh berkhianat. Yang mengangkat kamu duduk di posisi itu kan aku juga. Posisi teratas di rumah ini diantara yang lain. Lihatlah foto itu aku pajang lebih rendah dari kamu, posisimu saat ini. Semestinya kamu sadar jangan malah seenaknya sendiri. Mentang-mentang menduduki posisi tertinggi. Kalau tugasmu menunjukkan waktu ya menunjukkan waktulah yang kamu harus jalankan. Sebagai penunjuk waktu kamu tetap harus mengatakan yang benar mesti akibatnya buruk bagi aku. Saat aku bangun kesiangan kemarin itu gara-gara siapa, ulah kamu juga kan?. Kamu tidak mengatakan yang sebenarnya sudah jam delapan kamu malah bilang “ini masih jam enam lebih lima menit”. Jadinya aku telat pergi ngantor. Jangan goblok aku bilang. Kalau disuruh berdetak ya kamu harus berdetak jangan mencari-cari alasan untuk membela diri. Tenaga baterainya tidak cukuplah, jarumnya terhambatlah, inilah, itulah. Terlalu banyak alasanmu itu terlalu banyak. Tidak berdetak menjalankan tugas malah mencari kesibukan mencari alasan. Jangan kuatir dengan tenaga baterai yang hampir habis atau sudah habis aku masih punya surplus anggaran untuk memenuhi kebutuhanmu agar kamu berdetak dengan baik. Lalu masalah jarum jam yang terhambat gara-gara jarum menit dan jarum detik bersinggungan seharusnya bisa kamu sendiri yang menyelesaikan. Cobalah berkoordinasi satu sama lain. Kalian itu satu tubuh kalau tidak berkoordinasi dengan baik dampaknya juga padaku juga dan kacaulah nanti hidupku. Jangan saling bersinggungan. Kalian itu punya beban dan tugas yang saling berkaitan. Harus saling dukung diantara kalian. Kalau dikritik ya jangan terus ngambek. Kamu harus siap dikritik apalagi saat tamuku datang terus ngoceh sama kamu. Dia itu kan tamu penting dan terhormat, jadi jangan dibohongi. Tamuku itu tidak bisa kamu bohongi, tahu kamu kenapa? Saya bilangin, tamuku itu punya teknologi yang lebih canggih dari kamu . kamu pun harus belajar dari dia. Malam itu waktu kamu aku kritik paginya kamu ngambek tidak mau berdetak lagi. Tapi saya popok dengan baterai yang baru kamu begairah lagi. Jangan begitu, usahakan tiap tenaga baterai terpakai sepenuhnya. Tapi wajarlah kamu memang doyan dipopok dengan baterai yang baru dan banyak tenaganya.”
“Ini masih jam sebelas lebih tiga puluh menit.”
“Nah…nah, baru dikritik sedikit saja sudah mengalihkan pembicaraan. Kalau dikritik seharusnya kamu bangga, bagaimana tidak? Itu berarti masih ada orang yang memperhatikan kamu mengawasi kinerjamu. Coba kalau tidak ada yang mengkritik pasti kamu merasa kurang diperhatikan dan kamu merasa kepopuleranmu sudah luntur. Lantas kamu mencari sensasi dan mencari perhatian biar orang-orang memujimu.kalau ingin dipuji ya jalankan tugasmu dengan sungguh-sungguh. Berkinerjalah yang bagus. Berdetaklah terus menerus meskipun tenaga bateraimu hampir habis. Tunjukkan kekuatanmu mampu mngatakan hal yang benar-benar benar. Jika memang kinerjamu bagus dan layak dipuji kami pun tidak segan-segan memujimu. 

“Apa aku bilang pagi ini kamu sekali lagi ngambek gara-gara tadi malam aku kritik. Aku sudah menduga dan antisipasi sudah kupersiapkan. Sekarang gantian aku yang memberitahu kamu, ini masih jam enam lebih dua puluh lima menit, jam edan, jam dinding gendeng, jam dinding kacau,.”
Ini masih jam lima lebih limabelas menit.”
“Salah, jam edan, salah kaprah, salah banget, exactly wrong. Jangan ngelantur, bangun hoi…bangun sudah siang! Tapi, lebih baik kamu memang tidak bangun saja, sudah kinerjanya tidak bener, nyedot banyak anggaran tenaga baterai juga. Sudah urus saja dirimu sendiri kalau tidak bisa melayani aku dan seluruh anggota rumah ini yang membutuhkan informasi waktu.”
Adil keluar dari rumah tangan kirinya menjinjing tas hitam, berjalan dia menuju halte bus. Dibelakangnya seseorang tidak cukup jauh memanggilnya.
“Hoi Adil Makmur…bareng, tunggu!”
“Kamu rupanya Gemah Ripah Loh Jinawi berangkat ngantor juga? Ngomong-ngomong tadi malam kamu dengar kokok ayam-ayam jago jam sebelas? Bukankah aneh baru jam sebelas sudah berkokok?”
“Aneh bagaimana, itu namanya disiplin. Ayam jago berkokok saja dibilang aneh. Kalau ayam jago mengaum baru heran boleh. Ini ayam jago berkokok heran, dibilang aneh, kamu yang aneh.” 
“Tapi mereka saling bersautan seolah menandakan sesuatu akan terjadi atau malah sudah terjadi.” Adil meyakinkan.
“Lalu sekarang ada apa, tidak ada apa-apa to? Yang ada cuma busku yang sudah datang, aku tinggal dulu.”
Diajak ngobrol malah pergi, wong edan.”
*** 
“Jam berapa sekarang?”
“Ini masih jam lima.”
“Benar, tidak bohong kali ini kamu tapi sayang kinerjamu tidak konstan. Kali ini tepat informasimu. Seharusnya seperti itu tiap kali aku menanyakan waktu kepadamu. Aku tahu sebenarnya tidak sungguh-sungguh kamu jalankan tugasmu. Ketepatan kali ini hanyalah upayamu agar tidak jadi aku lengserkan dari posisimu. Jangan kamu kira aku tidak tahu itu. Makanya aku sudah menyiapkan calon penggantimu. Kamu lihat yang sekarang aku pegang ini? Benar ini jam meja. Meskipun kedudukannya lebih rendah dari kamu kinerjanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia lebih bersahaja dalam berkinerja. Tahu diri kedudukannya yang lebih rendah menjadi cambuk kekonstanan kenerjanya. Jam berapa sekarang?”
“Ini masih jam lima lebih dua puluh lima menit.”
“Aku tidak bertanya kamu tapi dia.”
“Sekarang jam lima belas lebih dua puluh menit.”
“Kamu dengar itu, ketegasannya dan kewaspadaanya. Dia memakai kata ‘sekarang’ itu berarti kepastian dan kewaspadaan terhadap detik dan menit berikutnya. Tidak seperti kamu yang ‘ini masih jam segini’ itu berarti kamu kurang waspada terhadap menit, detik, dan jam berikutnya yang pasti datang. Kamu terlalu santai, nanti-nanti, dan menunda dengan kata santaimu ‘ini masih jam segini’. Pantas saja kinerjamu dipertanyakan dan nyatanya berantakan. Tidak sesuai jadwal dan tidak sesuai dengan yang telah kamu janjikan. Seharusnya bisa selesai lebih cepart dari waktu yang telah ditentukan, tapi dengan kata-katamu itu ‘ini masih jam segini’ semua jadi berantakan. Kacau. Awas kalau ngambek lagi tak buang kamu ke tempat rongsokan!”
“Ini masih jam sepuluh”
“Sekarang masih jam sepuluh.”

Di luar kamar seorang anak kecil mengetuk pintu. “Pa, Ma bangun!”
“Ini masih jam lima lebih tiga puluh dua menit.”
“Sekarang jam lima lebih tiga puluh dua menit.”
“Papa ga pergi ke kantor ini kan sudah jam setengah delapan.” Anak kecil itu mengingatkan.
“Kalian ini bagaimana? Kalian menduduki posisi itu aku yang memilih itu berarti kalian adalah yang terbaik. Tapi kinerja kalian buruk. Malah bersekongkol dan berkonspirasi menghancurkan aku pemilih kalian. Kamu jam meja sialan, sudah aku beri kepercayaan malah melengos. Kamu takut dengan jam dinding itu? Posisi kamu memang lebih rendah dari jam dinding itu bukan berarti moralmu juga tidak lebih baik dari jam dinding itu. Jika jam dinding edan itu baersalah kamu jangan menutupinya. Jangan kamu korbankan reputasimu untuk dia yang bersalah meskipun dia itu atasan kamu. Kemarin saat baru kupilih kamu tunjukkan ketegasanmu tapi kenapa sekarang malah luntur? Kamu juga jam dinding kalau kinerjamu tidak baik jangan mencari kambing hitam. Membawa-bawa dia yang posisinya lebih rendah. Jangan kamu gunakan posisimu untuk menutupi kesalahan kamu. Seharusnya kamu menjadi panutan bagi mereka yang ada di bawahmu. Kalau salah ya ngaku salah. Jangan salah ngaku-ngaku paling benar. Kalian sudah tidak bisa lagi diberikan kepercayaan. Kalian masih minta kesempatan sekali lagi. Tidak! Sekarang sudah bukan masa kalian lagi. Aku akan mengganti kalian dengan mereka yang berdedikasi pada reputasinya. Pada mereka yang mengatakan benar yang sebenarnya. Pada mereka yang mengatakan salah yang salah.”
.
read more..