Jumat, 29 Mei 2009

Lalu...? Lintas

Lalu…? Lintas.

“Kok ga ada apa-apa gini. Apa memang ga punya apa-apa, to? Sebagai petugas pengawas lalu lintas paling tidak ada camilan atau minuman biar ga bosen atau ngantuk.” Herman kepada teman-temannya yang sepaneng (serius) mengawasi lalu lintas di luar pos.”
Sebagai petugas mereka lebih senang mengawasi orang-orang yang berlalu lalang dari dalam pos, selain tidak menghabiskan banyak tenaga mereka juga bisa tiduran sebentar kalau lagi penat. Memang manusiawi, dan kebanyakan orang yang kalaupun disuruh menjadi mereka juga akan melakukan hal yang sama.
“Tanggal tua gini, seret Man. Boro-boro camilan, wong gaji kita tu ga cukup ngidupi anak istri. Palagi pendidikan, yang semakin tinggi semakin besar biayanya. Anak saya tiga, yang besar kuliah, yang nomor dua SMU, yang terakhir masih SD. Harus bayar inilah, harus iuran itulah, semua pake uang.”
“Maka dari itu kita dituntut kreatif dan inovatif. Bagaimana supaya dengan profesi kita ini bisa mendatangkan rejeki sampingan.” Timpal Herman pada Subagia.
“Katanya kamu orang paling kreatif di sektor wilayah ini, sudah tunjukin sana!”
“Portal penutup jalan itu bisa jadi ladang uang itu Ya.”
“Ya gimana caranya terserah, yang penting kita ga bosen dalam bertugas.”
Herman bergegas ke arah portal. Digesernya portal itu sedikit sehingga menyisakan sedikit ruang yang hanya bisa dimasuki kendaraan bermotor roda dua. Herman memang dikenal kreatif dalam membuat jebakan-jebakan seperti itu. Banyak cara dilakukan termasuk yang satu ini. Dan berdasarkan pengalaman, idenya selalu menuai sukses. Mungkin juga kali ini.
Selesai memasang perangkap Herman kembali ke pos sambil menunggu “kelinci” yang terjerat perangkapnya.
“Gimana, sudah?”
“Sekarang kita tinggal menunggu hasil jebakan. Tinggal panen, ga perlu susah payah. Kelinci-kelinci itu akan datang sendiri. Kita ga perlu susah payah, tinggal ongkang-ongkang aja di pos, duit datang sendiri. Enak po ra?”
Masih pagi dan belum banyak pengendara yang lewat. Hanya satu dua motor yang ragu menerobos portal itu tapi tidak jadi. mungkin mereka masuk jenis pengendara yang patuh peraturan lalu lintas. Atau mereka sudah jera dan tidak mau lagi berurusan dengan petugas yang suka nyang-nyangan (tawar-menawar) harga untuk sebuah pelanggaran. Dan setelah itu mereka menggerutu, “Dasar polisi mata duitan”.
“Nah tu sudah ada yang masuk, disumprit Ya!”
Bergegas Subagia keluar dari pos dan…priiit….priiit ….iprit…iprittt…. Kontan saja pengendara tadi kelabakan dan terpaksa menghentikan laju motornya.
“Selamat pagi, pak. Bisa diperlihatkan surat-suratnya?”
Mengeluarkan dompetnya pengendara tadi merogoh di saku celananya. Kemudian mengeluarkan STNK dan SIM kepada Subagia.
“Anda tahu kesalahan anda?” Interogasi Subagia.
“Tahu pak.” Jawab pengendara itu ketakutan.
“Lalu kenapa anda langgar?” tanya Subagia lagi.
“Saya buru-buru jadi….”
“Sudah sekarang ikut saya ke pos!”
Pengendara itu mengekor saja di belakang Subagia masuk ke pos.
“Ini anda mau titip sidang atau anda bersidang sendiri?”
“Titip sidang saja pak.”
“Kalau anda titip sidang, bayar lima puluh ribu, kalau anda ingin sendiri yang datang ke tempat sidang, sekarang saya buatkan suratnya.”
“Jangan lima puluh ribu pak, kasihan saya to pak.”
“Ya sudah, ini saya buatkan suratnya.”
“Jangan pak, tiga puluh ribu saja pak, mbok kasihani saya ini pak.”
“Lima puluh ribu atau sidang? Lima puluh ribu itu sudah murah, biasanya tujuh puluh lima ribu kalau titip sidang.”
“Tapi bagi saya itu…”
“Ya sudah empat puluh lima ribu saja, tidak ada lagi tawar menawar.”
Pengendara itu sejenak diam berpikir.
“Gimana, sidang?” Tanya Subagia mencoba memancing.
“Baiklah pak, ini empat puluh lima.” Dengan wajah yang kecut, pelanggar tadi mengeluarkan lembaran uang lima puluh ribu dari dompetnya. “Kembali lima puluh ribu, pak, eh.., lima ribu, ya, lima ribu pak.”
Sementara Subagia bertransaksi dengan pelanggar tadi, Herman melihat masuk satu lagi korban dan bergegas keluar pos menghentikan pengendara itu. Priiiitt….
“Selamat pagi, anda tahu sudah melanggar rambu lalu lintas? Bisa tunjukkan surat-suratnya?”
“Saya benar-benar tidak tahu, pak.”
“Sekarang ikut saya ke pos!”
"????."
read more..

idealisme kucing

Idealisme Kucing

Gembar-gembor:
“Berangus Korupsi, Singkirkan Kolusi, Usir Nepotisme dari Indonesia”

“Turun ke jalan-jalan berbondong-bondong menentang kebijakan ini kebijakan itu. Tolak RUU ini-itu. Adili si ini gantung leher si itu. Teriak kalian. Tapi apa yang kalian dapat? Uang politik? Kemudahan pandanaan dari pihak lain, untuk agenda-agenda kalian? Membuktikan idealisme kalian? Agar mereka tahu masih ada yang tidak hanya diam ketika tertindas oleh kesewenangan? Apakah mereka manut (menurut) pada aksi kalian? Lalu mereka takut kepada kalian? Kenyataannya justru kalian yang manut karena uang politik mereka. Kalian yang lari tunggang langgang dikejar tangan mereka. Mencoba meremas kalian khususnya kepala kalian. Kepala kalian yang penuh dengan semangat idealisme yang bisa mengancam kursi mereka. Mereka ingin itu hilang dari kepala kalian. Cara apapun mereka lakukan untuk menutup cangkem (mulut) kalian. Kalau perlu mencuci otak kalian dengan uang haram mereka. Bagusnya kalian bisa menghindar karena lari kalian lebih cepat. Lalu kalian bisa tenang-tenang ngumpet di balik bangku kuliah kalian. Tapi penentangan kalian absurd. Menggelikan. Proposal ini. Proposal kegiatan ini kalian jual pada mereka. Mengemis kalian pada mereka dengan kedok proposal ini. Dengan dalih untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Untuk meningkatkan kualitas kalian-kalian dengan acara ini acara itu. Seminar ini seminar itu. Sukses (mungkin) kegiatan kalian. Tapi sama saja dengan mereka, kalian. Korupsi kecil-kecilan. Koruptor kelas teri. Apa kalian pikir aku tidak tahu dana kegiatan in kegiatan itu yang kalian gelembungkan? Dengan dalih untuk operasional kegiatan kalian selipkan satu dua lembar. Meski selembar tetap saja itu namanya korupsi, penyelewengan. Kalain ini tahu apa pura-pura tidak tahu. Jangan berlagak intelek untuk melakukan korupsi. Sami mawon (sama saja), tidak ada bedanya. Orang –orang menyebut yang kalian kutuk tapi kalian lakukan juga munafik. Di depan rakyat kalain berlagak menentang tradisi pemerintah, korupsi. Say no to corruption kata kalian. Perangi koruptor suara kalian keluar. Namun tidak dari hati nurani kalian, betul tidak? Agar rakyat kecil mendukung kalian. Agar Rakyat Besar mengasihani kalian. Sungguh pandai berakting kalian. Punya dua topeng dan tepat pula waktu mengenakannya rupanya. Kalian kenakan topeng yang satu di depan Rakyat Besar agar mereka mau mendanai kegiatan kalian, topeng dengan mimik memelas, “topeng pengemis”. Kalian tutupi idealisme kalian dengan topeng itu. Kalian sembunyi kemanakan idealisme itu aku tidak peduli. Kemudian setelah berhasil kalian lepaskan “topeng pengemis “itu dan mengenakan topeng yang satunya untuk berunjuk gigi di depan rakyat kecil, “topeng hero”. Dengan berlagak sebagai “hero” kalian sungguh kesiangan. Atau kalian kepagian beraksi memberantas “kejahatan” saat mereka masih terlelap. Bagaimana jika rakyat kecil dan Rakyat Besar (barangkali) memerlukan kalian di waktu yang sama? Apa kalian akan kebakaran jenggot? Tidak apalah jika yang kebakar cuma jenggot kalian. Lagipula jenggot kalian belum terlalu lebat. Jadi tidak susah untuk memadamkannya. Sekedar ditiup saja pasti padam.
P A D A M
read more..