Sabtu, 24 Oktober 2009

Mati Bukan Hukuman

Apa yang hendak kalian lakukan dengan peluru di dalam pistol itu?Kepalamu akan terisi dengan peluru-peluru ini sesaat lagi.Lalu apa yang kalian tunggu? Muntahkan saja peluru-peluru dari dalam pistol itu agar aku tidak terlalu lama menunggu ajal yang kata kalian sesaat lagi menjemputku! Rupanya kalian sengaja membiarkan malaikat maut menunggu aba-aba kalian.
Pun kalian tidak akan pernah bisa lari darinya.Terserah kami akan mengeksekusi kamu sekarang atau nanti. Meskipun sama saja sekarang atau nanti ajalmu telah pasti di tangan kami.Tentu saja seratus persen kematianku di tangan eksekutor seperti kalian tak bisa tertunda dengan tali yang mengikat tangan dan kakiku ini. Penutup mata pun telah kalian lingkarkan erat diantara dahi dan batang hidungku. Seharusnya kalian tidak berhak merampas hakku untuk melihat dunia ini terakhir kalinya.Hak yang kamu punya hanyalah diam. Selain itu tidak ada.Benar.Telah berapa nyawa kalian renggut?Cukupkah nyawa kalian sebagai pengg...?Sudah pukul 12 tepat. Segera lakukan eksekusi!
read more..

Sabtu, 12 September 2009

Peluhku Darahku

Kuusap peluhku dari basahnya dahi kepalaku. Kusingkirkan keringat dengan telapak tanganku. Merah. Terlihat menyeluruh di telapak tangan ini. Darah. Apa keringatku adalah darah? Kulihat cermin. Tidak sedikitpun goresan luka yang menyebabkan darah bisa mengucur. Tapi merah benar jidatku. Keringat inikah yang membawa darah? Atau darah adalah keringatku?
Aku pingsan. Atau bukan pingsan, koma. Atau mungkin, mati? Matikah aku? aku tidak bisa memastikian ini. Tapi gelap benar mata ini. Pekat menutupi pupil. Di sudut mana muncul titik putih. Ke sanalah aku berjalan. Bukan. Bukan berjalan tapi melayang, terbang. Tanpa sayap. Meskipun aku tidak sepenuhnya dapat menggerakkan diri. Aku begitu saja tersedot. Terseret cahaya putih itu yang kelihatan kecil dari pandanganku. Entah dengan kecepatan melebihi jet atau yang lebih cepat lagi, namun tidak juga sampai di sana. Cukup jauhkah itu atau aku yang lambat sangat?
Mulai terasa lelah mata ini. Tak bisa lagi kubuka. Sama sekali menutup.tapi cahaya itu masih ada. Belum hilang dari pandanganku.
“Untuk apa itu menyedotku?”
Berlari keadaan di sekitarku menjauhi tubuh tanpa daya ini. Cepat sekali aku tidak bisa mencegah mereka. Apalagi menghentikan lari mereka.
Tidak. Bukan mereka yang berlari. Aku melihat mereka diam ditempatnya. Rupanya aku yang dengan cepat melayang, tersedot cahaya itu. Aku yang berlari bukan mereka.
Tidak lagi tampak cahaya itu. Sekarang api ada di mana-mana. Merah panas api ini.
“Api ini yang menyedotku?”
Aku tidak bisa merasakan mereka. Lava cair meluap, mendidih. Di hadapanku. Aku tidak merasakan apapun. Aku hanya bisa melihatnya. Tapi tidak dengan mata terbuka karena masih sulit kubuka mata ini.
“Inikah penyebabnya?”
Semacam lem namun lem apa yang bisa seerat ini merapatkan kelopak mataku. Mungkin bukan lem apa tapi lem siapa. Masih menyala mereka.
read more..

Jumat, 21 Agustus 2009

Hujan Tahun Kemarin

Dari selatan turun ke utara mendung membawa kegelapan. Masih cerah langit di barat bumi. Namun tak berlangsung lama. Cerahnya hilang tergantikan gelapnya mendung. Kini tak terlihat lagi kecerahan terpampang di langit mana pun. Semua diagonal langit kini gelap. Sudut-sudut langit menjadi sesak penuh gelapnya mendung.Gelap langit barat melindungi bumi dari sengatan terik mentari. Setidaknya saat ini sudah tidak lagi terasa tercekik kerongkongan ini. Seharian tadi panas benar teriknya.Hembusan angin melenggang semaunya mengelilingiku. Kesejukan meresap dalam. Menyapa kerongkongan yang sebelumnya kepanasan. Aroma hujan mulai tercium dari hembusannya.Dengan kondisi langit yang seluruh sudutnya terbasuh mendung besar kemungkinan hujan akan turun tidak lama lagiRasanya kesejukan menggerayang nafas ini. Kusedot udara dengan aroma hujan di hidungku menuju paruku. Terbasuh aroma hujan rongga nafasku. Kenikmatan musim hujan benar-benar merasuk sangat dalam.Tik, tik, tik. Satu persatu mereka menetes. Tetesan demi tetesan saling menyusul. Turun dari langit membasuh bumi. Hujan datang. Dahaga hilang. Terlihat lagi mulai basah tanah di bumi ini. Dinikmatinya hilangnya dahaga tanah kering seharian ini. Air mulai mengalir di atas tanah. Cokelat air mengalir bersama sedikit buih sebagai perhiasannya.Segerombolan anak kecil keluar dari sarangnya. Mereka bermaksud membasahi diri di bawah guyuran hujan yang tentu saja gratis air itu. Dan pasti sudah sangat mereka tunggu turunnya hujan ini sejak munculnya mendung beberapa saat lalu.Terlihat asyik mereka menikmati hujan. Nikmatnya masa kanak-kanak yang mereka miliki. Bermain mereka menikmati hujan tanpa berpikir akibat apa yang akan mereka rasakan kemudian. Mereka pun sepertinya tak mau tahu dengan dinginnya air oleh balutan angin berhembus.Dengan memegang raket dua anak terlihat asyik bermain badminton. Di tengah guyuran hujan terus saja mereka melancarkan pukulannya menghantam kock. Mereka tak berpikir kock itu akan rusak oleh air.Tak jauh dari mereka segerombolan anak bermain bola. Dengan gawang dari batu, mereka menyebutnya gawang kecil. Dua gawang berhadapan namun cukup jauh.Sesekali permainan mereka terhenti oleh mobil yang melewati jalan di mana mereka bermain. Kemudian dilanjutkannya lagi permainan mereka sampai kemudian lewat lagi mobil lain di jalan itu dan terhenti kembali permainan merka.“ Ada sponsor lewat awas.” Celetuk salah satu dari mereka.Di sudut lain ada dua anak yang sepertinya sedang beradu mulut. Entah apa yang mereka perkarakan. Salah satu dari mereka duduk di atas sepeda. Dipukul anak yang duduk di atas sepeda itu. Tidak keras namun tidak dibalasnya pukulan itu. Mungkin dia takut atau diam untuk mendendam. Rupanya nyalinya tak cukup besar untuk menggelar duel itu. Setelah memukul anak tadi berlari menuju dua anak lain yang sedang bermain badminton. Direbutnya salah satu raket anak-anak itu. Berhasil dia dapatkan dan bermainlah dia dengan anak satunya. Setelah raketnya direbut dia hanya terdiam melihat mereka bermain. Mungkin di pikirnya berharap diserahkan kembali raket kepadanya. Namun hanya sebatas harapan dan masih terdiam anak itu.Tak lama permainan berlangsung. Kock yang mereka mainkan sudah tidak berwujud lagi. Dilemparnya raket yang direbut paksa tadi kepada pemiliknya. Kemudian berlari menuju segerombolan anak yang bermain bola.Sementara anak pemilik raket tadi berlari membawa raketnya pulang. Dilemparnya raket itu di halaman rumah. Berbalik lagi dia menuju jalan untuk bermain bersama anak-anak lain.“Ikut, ikut, aku gawang sini!”“Sudah penuh ngga’ usah.” Salah seorang dari mereka mencoba melarang .Tak mempedulikan larangan itu tetap saja dia bermain bola dengan mereka. Dilihatnya gawang satu ke gawang lain cukup sempit untuk permainan itu. Diambilnya gawang batu itu kemudian dia letakkan beberapa langkah dari sebelumnya. Sekarang jalan yang mereka bermain bola sudah cukup panjang. Dia pun bermain bola bersama mereka dan masih di bawah guyuran hujan yang tampaknya sudah tidak begitu deras.Terlihat ibu-ibu berseragam PKK melewati mereka. Dengan dilindungi payung ibu-ibu itu berjalan melewati mereka. Anak-anak itu tetap tak peduli dengan pejalan kaki yang melintas. Terus saja mereka asyik bermain bola. Namun sepertinya permainan mereka menjauh dari ibu-ibu yang melewati jalan itu.Lewat sudah ibu-ibu tadi. Dan dengan bebas mereka menendang bola diantara dua gawang di jalan itu.Sudah tidak lagi terpenuhi oleh anak-anak yang bermain bola kecuali hanya beberapa. Mereka meninggalkan permainan dengan berlari bergerombol.Sebelumnya muncul anak belasan tahun yang memprovokasi mereka. Anak itu mengejar salah seorang anak lain. Mungkin dia ingin menunjukkan kekuatannya dengan membawa anak-anak yang sedang bermain bola tadi bersamanya. Bersama-sama mereka mengejar anak yang entah seperti apa rupanya. Dan entah perkara apa yang sanggup memprovokasi mereka meninggalkan permainannya. Mungkin mereka cuma ikut-ikutan saja berlarian bergerombol mengejar anak lain. Padahal mereka sendiri tidak tahu urusannya.Beberapa menit kemudian segerombolan anak yang berlari mengejar anak lain kembali. Sepertinya tak diperolehnya apa pun. Berpapasan mereka dengan truk yang lewat jalan itu.“He… minggir! Minggir!” teriak kernet di dalam truk itu. Dengan nada menggertak dan memarahi anak-anak tadi.“He…Hu…Hoi..” berteriak-teriak anak-anak itu mengejek kernet truk. Mereka rupanya tak mau mengalah dengan amukan kernet tadi.Mereka lanjutkan permainan mereka. Tidak ketinggalan si provokator tadi ikut bermain di jalan itu membaur bersama mereka.Sekarang sudah ramai lagi jalan itu. Keriuhan mengalahkan derasnya guyuran hujan.Beberapa saat kemudian deras hujan mulai berkurang. Hanya meninggalkan gerimis yang masih betah mengguyur.Dengan ikutnya sang provokator bermain bola bersama mereka hilang pula keasyikan mereka. Bagaimana tidak, tiap bola yang bergulir ke kaki sang provokator selalu saja ditendangnya keras-keras tanpa terarah. Tentu saja bola itu kemudian melambung menjauhi lapangan permainan. Hal in membuat mereka jengkel.Lagi, si provokator mendapat bola dan ditendangnya keras-keras. Tanpa diduga bola itu menghantam keras pintu salah satu rumah di sekitar jalan itu. Kontan saja semua berlarian kocar-kacir menjauhi area itu.“Kurang ajar, anak-anak setan.” Si pemilik rumah keluar sambil meracau tak henti-hentinya. Diambilnya kemudian bola di hadapannya. Dibawa masuk bola itu. Entah apa yang akan dilakukannya pada bola itu.Anak-anak yang lari kocar-kacir tadi sebagian bersembunyi. Sambil mengawasi rumah itu. Sebagian lagi melarikan diri menjauh dari area bermain. Mereka mencari tempat lain untuk bermain. Mereka menuju areal tambak yang tidak jauh letaknya dari jalan tadi. Berenang mereka asyik di tambak meski asin airnya namun bersih.Gerimis masih belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Tak lama kemudian terlihat bola terlempar ke jalan. Bola yang tadi menghantam pintu. Anak-anak yang bersembunyi tadi segera mengambilnya. Namun sudah tidak utuh lagi bola itu. Sisi-sisinya sudah menganga lebar oleh goresan pisau. Tentu saja sudah tak dapat dipakai lagi.Oleh salah satu anak dilemparnya kembali bola itu ke arah rumah tadi. Dengan kencang bola itu menghantam kaca namun tidak cukup kencang untuk memecahkannya. Berlari sekencang-kencangnya anak itu setelah usahanya melempar bola sukses. Pemilik rumah keluar lagi namun tak dilihatnya siapa pun di depan rumahnya. Anak-anak itu sudah menghilang.Masih asyik berenang mereka tambak itu.datanglah sebagian anak-anak yang nekat melempar bola tadi. Langsung terjun mereka ke dalam air. Ada pula yang melepas baju dan celananya dahulu sebelum masuk tambak.Sementara mereka asyik berenang bermain air sang penjaga tambak muncul. Dari kejauhan penjaga tambak mengacungkan tangannya yang memegang parang. Meski hanya untuk menakuti anak-anak parang itu namun mereka tetap saja takut. Tanpa komando kocar-kacir lagi anak-anak itu keluar dari air. Berlari mereka di atas tanah lempung di sisitam bak yang licin. Berpencar mereka menuju rumah masing-masing. Dengan telapak kaki yang masih berbalut lumpur. Sementara anak yang melepaskan pakaiannya tadi lari tanpa sempat mengenakan kembali pakaiannya. Digenggamnya pakaian itu pulang menuju rumah. Sudah berakhir pesta mereka. Padahal gerimis belum juga reda.
read more..

Senin, 15 Juni 2009

A S O E

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
ssssssssssssssssssss
oooooooooooooooooooo
eeeeeeeeeeeeeeeeeeee
read more..

Penculik, Maling, ya Penjahat

“Kita apakan anak ini, bos?”
“Kita ini lagi ngapain?”
“Nyulik anak ini, bos.”
“Kenapa nanya?”
“Lha bos kenapa nanya?”
“Jangan banyak nanya, jaga anak ini jangan kamu apa-apain!”
“Bos mau ke mana, bos?”
“Aku bilang jangan banyak nanyak!”
“???”
“Jangan banyak nanya!”
“!!!”
Sementara Tolal menjaga anak itu agar tidak kabur Tolel mencari telepon umum atau wartel barangkali, karena telepon umum sekarang ya wartel itu, dan wartel ya telepon umum juga.
Dengan nada mengancam dan sok kuasa, sok penting, dan paling penting, Tolel berbicara dengan orang tua anak itu agar menyerahkan uang tebusan, pikirnya.
“Anak bapak ada di tangan kami. Serahkan uang tebusan enam milyar atau anak bapak kami bunuh. Jangan macam-macam dengan kami dengan melapor ke polisi! Nyawa anak anda taruhannya. Letakkan uang itu di bawah Tugu Muda jam dua belas malam tepat! Jangan kurang jangan lebih. Kalau uangnya lebih, boleh.”
“Anda siapa dan kenapa harus enam milyar, uang atau daun?”
“Saya Tolel, penculik. Coba anda tanyakan kepada presiden, enam milyar itu uang atau daun, yang digunakan untuk menyambut presiden Amerika itu.”
“Lalu anak siapa yang anda culik?”
“Anak presiden. Ya bukan , anak bapak.”
“Saya tidak merasa pernah punya anak, anda salah orang.”
“Tidak, anak itu sendiri yang memberikan nomor telepon ini.”
Tut…tut…tut…telepon ditutup.
“Halo pak, halo, halo, pak halo.”
Tolel kembali ke tempat persembunyian dengan dongkol. Tolel merasa ditipu anak ingusan itu.
“Aku akan hajar anak ingusan itu.” Gerutunya.
“Dimana anak ingusan itu?” teriaknya pada Tolal.
“Ga tau.” Timpal Tolal seenaknya.
“Ga tau gimana? Kamu aku suruh njaga anak ingusan itu malah ga tau.”
“Katanya ga boleh diapa-apain, anak itu lari ya aku biarin aja.”
“Cari anak itu, cepat. Jangan balik tanpa anak itu!”
Tolal langsung saja keluar mencari anak itu. Tapi beberapa menit kemudian Tolal kembali lagi dan membawa anak kecil.
“Siapa anak ini?” Tanya Tolel.
“Aku temukan di jalan, bos.”
“Cari lagi anak itu sampai ketemu!”
Tolal keluar lagi dari tempat persembunyian dan mencari lagi anak itu.
“Kamu siapa? Anak orang kaya bukan?” tanya Tolel pada anak itu.
“Saya Kevin, om. Ayah saya punya banyak mobil, ibu saya punya banyak kalung mutiara di lacinya. Jadi saya anak orang kaya kan om?”
“Kaya banget.”
“Tapi temen-temen di sekolah mengejek saya anak miskin.”
“Tidak, kamu anak orang kaya.”
“Tapi ayah temen-temen saya lebih kaya dari ayahku.”
“Biarin aja. Sekarang kamu di sini saja main sama om, kamu suka main apa?”
Sambil bermain dengan anak itu, Tolel menginterogasi dan mengorek informasi dari anak itu. Lalu dia meninggalkan anak itu dan mencari lagi wartel.
“Kok ga diangkat pada ke mana orangnya ini.” Menggerutu Tolel sambil menunggu telepon diangkat.
“Halo.” Telepon terjawab.
“Ya halo, bisa bicara dengan Pak Drajat?”
“Saya, anda siapa?
Seperti di film-film Tolel menjawab pertanyaan Pak Drajat dengan nada sok penculik.
“Anak anda, Kevin ada di tangan saya. Jika ingin anak anda selamat, sediakan uang enam milyar. Awas jangan lapor polisi.”
“Lho, saya ini polisi.”
“Kalau begitu jangan curhat sama temen-temen anda, kalau tidak ingin nyawa anak anda lenyap!”
“Sebagai polisi saya pandai berkompromi, jangan kuatir. Tapi anak saya tidak boleh lecet sedikitpun kecuali anda ingin saya tembak di tempat.”
“Asal bapak sediakan uang jaminan, terima beres sajalah. Tapi, pak. Betul anda polisi?”
“Yang meragukan anda?”
“Polisi kok punya banyak mobil, banyak perhiasan istrinya. Pasti itu hasil was wes wos sana sini ya pak? Kalau begitu anda sama seperti saya juga, penjahat. Hanya saja jurusan anda jurusan kepemalingan. Maling bondo(harta) rakyat. Profesi anda sebenarnya maling tapi nyambi jadi polisi, betul tidak? Wah, kalau begitu saya tolak uang anda dan saya tidak jadi nyulik anak bapak.”
Tut tut tut…. Gagang telepon dibanting oleh Tolel sebelum percakapan selesai. Tolel jengkel sudah dua kali nyulik gatot semua, gagal total. Yang pertama tertipu si terculik, yang kedua, sasaran malah seprofesi juga, penjahat. Sebagai penjahat jurusan kepenculikan, Tolel masih ingat betul etika profesi penjahat. Tertuang dalam UUDP’45 atau Undang Undang Dasar Penjahat Empat Lima (empat lima karena waktu itu UUDP’45 itu di musyawarahkan oleh para wakil penjahat yang duduk di MPP (Majelis Permusyawratan Penjahat) dimulai pukul lima pagi, selesai pukul lima sore. Lalu nyeletuk salah satu wakil penjahat supaya ditambahi embel-embel 45, “Biar keren” katanya.). dalam salah satu pasal UUDP’4 tersebut berbunyi “Sesama Penjahat diharapkan menghindari sikap saling menjegal.”
Sebagai penjahat yang taat hukum kepenjahatan, Tolel tidak diperkenankan menjegal penjahat lain yang sukses agar jatuh tersungkur seperti dirinya.
Setibanya di tempat persembunyian didapati Tolal sedang bermain dengan anak polisi tadi.
“Pulang sekarang, kamu tidak jadi tak culik. Sana pulang ke BAPAKMU. Jangan ke sini lagi!”
“Kok malah disuruh pulang, bos?”
“Aku bilang jangan banyak nanya!”
“Tidak jadi diculik anak itu, bos?”
“Kita pindah jurusan saja. Banting setir.”

Semarang, 2007
read more..