Senin, 15 Juni 2009

Penculik, Maling, ya Penjahat

“Kita apakan anak ini, bos?”
“Kita ini lagi ngapain?”
“Nyulik anak ini, bos.”
“Kenapa nanya?”
“Lha bos kenapa nanya?”
“Jangan banyak nanya, jaga anak ini jangan kamu apa-apain!”
“Bos mau ke mana, bos?”
“Aku bilang jangan banyak nanyak!”
“???”
“Jangan banyak nanya!”
“!!!”
Sementara Tolal menjaga anak itu agar tidak kabur Tolel mencari telepon umum atau wartel barangkali, karena telepon umum sekarang ya wartel itu, dan wartel ya telepon umum juga.
Dengan nada mengancam dan sok kuasa, sok penting, dan paling penting, Tolel berbicara dengan orang tua anak itu agar menyerahkan uang tebusan, pikirnya.
“Anak bapak ada di tangan kami. Serahkan uang tebusan enam milyar atau anak bapak kami bunuh. Jangan macam-macam dengan kami dengan melapor ke polisi! Nyawa anak anda taruhannya. Letakkan uang itu di bawah Tugu Muda jam dua belas malam tepat! Jangan kurang jangan lebih. Kalau uangnya lebih, boleh.”
“Anda siapa dan kenapa harus enam milyar, uang atau daun?”
“Saya Tolel, penculik. Coba anda tanyakan kepada presiden, enam milyar itu uang atau daun, yang digunakan untuk menyambut presiden Amerika itu.”
“Lalu anak siapa yang anda culik?”
“Anak presiden. Ya bukan , anak bapak.”
“Saya tidak merasa pernah punya anak, anda salah orang.”
“Tidak, anak itu sendiri yang memberikan nomor telepon ini.”
Tut…tut…tut…telepon ditutup.
“Halo pak, halo, halo, pak halo.”
Tolel kembali ke tempat persembunyian dengan dongkol. Tolel merasa ditipu anak ingusan itu.
“Aku akan hajar anak ingusan itu.” Gerutunya.
“Dimana anak ingusan itu?” teriaknya pada Tolal.
“Ga tau.” Timpal Tolal seenaknya.
“Ga tau gimana? Kamu aku suruh njaga anak ingusan itu malah ga tau.”
“Katanya ga boleh diapa-apain, anak itu lari ya aku biarin aja.”
“Cari anak itu, cepat. Jangan balik tanpa anak itu!”
Tolal langsung saja keluar mencari anak itu. Tapi beberapa menit kemudian Tolal kembali lagi dan membawa anak kecil.
“Siapa anak ini?” Tanya Tolel.
“Aku temukan di jalan, bos.”
“Cari lagi anak itu sampai ketemu!”
Tolal keluar lagi dari tempat persembunyian dan mencari lagi anak itu.
“Kamu siapa? Anak orang kaya bukan?” tanya Tolel pada anak itu.
“Saya Kevin, om. Ayah saya punya banyak mobil, ibu saya punya banyak kalung mutiara di lacinya. Jadi saya anak orang kaya kan om?”
“Kaya banget.”
“Tapi temen-temen di sekolah mengejek saya anak miskin.”
“Tidak, kamu anak orang kaya.”
“Tapi ayah temen-temen saya lebih kaya dari ayahku.”
“Biarin aja. Sekarang kamu di sini saja main sama om, kamu suka main apa?”
Sambil bermain dengan anak itu, Tolel menginterogasi dan mengorek informasi dari anak itu. Lalu dia meninggalkan anak itu dan mencari lagi wartel.
“Kok ga diangkat pada ke mana orangnya ini.” Menggerutu Tolel sambil menunggu telepon diangkat.
“Halo.” Telepon terjawab.
“Ya halo, bisa bicara dengan Pak Drajat?”
“Saya, anda siapa?
Seperti di film-film Tolel menjawab pertanyaan Pak Drajat dengan nada sok penculik.
“Anak anda, Kevin ada di tangan saya. Jika ingin anak anda selamat, sediakan uang enam milyar. Awas jangan lapor polisi.”
“Lho, saya ini polisi.”
“Kalau begitu jangan curhat sama temen-temen anda, kalau tidak ingin nyawa anak anda lenyap!”
“Sebagai polisi saya pandai berkompromi, jangan kuatir. Tapi anak saya tidak boleh lecet sedikitpun kecuali anda ingin saya tembak di tempat.”
“Asal bapak sediakan uang jaminan, terima beres sajalah. Tapi, pak. Betul anda polisi?”
“Yang meragukan anda?”
“Polisi kok punya banyak mobil, banyak perhiasan istrinya. Pasti itu hasil was wes wos sana sini ya pak? Kalau begitu anda sama seperti saya juga, penjahat. Hanya saja jurusan anda jurusan kepemalingan. Maling bondo(harta) rakyat. Profesi anda sebenarnya maling tapi nyambi jadi polisi, betul tidak? Wah, kalau begitu saya tolak uang anda dan saya tidak jadi nyulik anak bapak.”
Tut tut tut…. Gagang telepon dibanting oleh Tolel sebelum percakapan selesai. Tolel jengkel sudah dua kali nyulik gatot semua, gagal total. Yang pertama tertipu si terculik, yang kedua, sasaran malah seprofesi juga, penjahat. Sebagai penjahat jurusan kepenculikan, Tolel masih ingat betul etika profesi penjahat. Tertuang dalam UUDP’45 atau Undang Undang Dasar Penjahat Empat Lima (empat lima karena waktu itu UUDP’45 itu di musyawarahkan oleh para wakil penjahat yang duduk di MPP (Majelis Permusyawratan Penjahat) dimulai pukul lima pagi, selesai pukul lima sore. Lalu nyeletuk salah satu wakil penjahat supaya ditambahi embel-embel 45, “Biar keren” katanya.). dalam salah satu pasal UUDP’4 tersebut berbunyi “Sesama Penjahat diharapkan menghindari sikap saling menjegal.”
Sebagai penjahat yang taat hukum kepenjahatan, Tolel tidak diperkenankan menjegal penjahat lain yang sukses agar jatuh tersungkur seperti dirinya.
Setibanya di tempat persembunyian didapati Tolal sedang bermain dengan anak polisi tadi.
“Pulang sekarang, kamu tidak jadi tak culik. Sana pulang ke BAPAKMU. Jangan ke sini lagi!”
“Kok malah disuruh pulang, bos?”
“Aku bilang jangan banyak nanya!”
“Tidak jadi diculik anak itu, bos?”
“Kita pindah jurusan saja. Banting setir.”

Semarang, 2007
read more..

Tidak ada komentar: